Masyarakat Tolak Reuni 212 Beraroma Politis
Oleh : Ahmad Pahlevi )*
Banyak pihak menolak acara reuni 212 karena Beraroma politis. Nuansa tersebut terlihat dari tidak diundangnya Prabowo Subianto yang saat ini diketahui telah masuk dalam Pemerintahan. Padahal, Persaudaraan Alumni (PA) 212 yang menjadi inisiator Reuni 212, mengundang Prabowo pada Reuni 212 tahun sebelumnya. Bahkan, mempromosikannya sebagai Presiden 2019-20124.
Rencana Reuni Akbar 212 yang akan digelar di Monas pada 2 Desember mendatang telah mendapatkan penolakan dari berbagai kalangan. Mulia dari masyarakat hingga pejabat. Alasannya, acara reuni 212 kini dinilai lebih condong ke arah politik. Tak menampik isu politik ini layaknya lahan empuk untuk berinkubasi. Selain mendapatkan status sosial yang lebih tinggi, juga mendapatkan pengakuan masyarakat secara luas.
Polemik aksi 212 ini tampaknya makin menjadi saat sang pemilik denda overstay di Arab Saudi akan didapuk menjadi penceramah dalam acara ini. Sudah acaranya bermuatan politis, penceramahnya menuai banyak sikap skeptis, serta esensi dari acarapun dirasa tak memiliki kejelasan tujuan alias tidak mempunyai transparansi dan terkesan ditutup-tutupi.
Sebelumnya, acara reuni 212 ini dulu telah menuai penolakan oleh Ketua Forum Rembuk Masjid Indonesia, Yakni Gus Sholeh. Menurutnya, aksi ini sarat akan agenda politik yang mengatasnamakan kesucian agama. Bahkan, Gus curiga bahwa aksi ini disusupi oleh HTI. Sebagaimana kita tahu HTI termasuk yang paling ekstrim menyuarakan ke “islam” annya. Termasuk keras dengan selalu mengkritisi langkah pemerintahan, apalagi HTI ini jugalah yang mencetuskan ide untuk mengganti Indonesia menjadi negeri khilafah. Mereka sengaja mengambil keruwetan dari aksi 212 guna mengubah Pancasila serta merusak NKRI.
Dia tak menampik jika tujuan awalnya dari aksi 212 ini adalah untuk menegakkan keadilan terkait penistaan agama yang dilakukan mantan gubernur DKI Jakarta, Ahok. Namun, jika Ahok telah dibui, tentunya apalagi tujuan dari aksi ini kalau tidak memobilisasi massa islam ke dalam politisasi agama. Maka dari itu, Gus Sholeh getol mengimbau kepada seluruh umat Islam untuk tidak terpengaruh dan mengikuti acara ini. Sebab, aksi 212 telah melenceng dari tujuan utamanya. Dia juga menambahkan bahwa, mari bersama-sama menyadari NKRI dan Pancasila ialah kesepakatan bersama guna membangun bangsa yang beranekaragam. Serta dibutuhkan pemikiran Islam rahmatan lil alamin dalam arti yang sebenar-benarnya.
Sementara itu, Kepala Unit Pengelola Teknis Monas (UPT) Munjirin mengatakan, dirinya telah menerima surat izin dari PA 212 guna mengadakan ‘Munajat 212 ‘. Lokasinya sama dengan acara pengajian yang biasa digelar sebelumnya. Menurut jadwal, peserta Reuni ini akan melaksanakan shalat tahajud di kawasan Monas. Sementara, acaranya sendiri akan dimulai dari Mahgrib hingga pukul 12 malam. Munjirin mengaku jika pihaknya telah menyiapkan anak buahnya, khusus dari sisi kebersihan. Sesuai SOP jika ada kegiatan besar, masalah kebersihan hingga keamanan akan ditambah hingga 100 petugas.
Berkenaan dengan keamanan, ia mengungkapkan, hal itu telah diatur juga oleh kepolisian beserta Satpol PP DKI. Meski telah menyiapkan petugas kebersihan, Munjirin tetap mengharap para peserta yang memeriahkan ‘Munajat 212’ tetap ikut untuk menjaga kebersihan.
Hal serupa juga telah dinyatakan oleh MenkoPolhukam, Mahfud MD yang mempersilakan acara ini berlangsung. Namun, tetap dengan sejumlah catatan, mengingat reuni 212 ini dinilai akan memicu kericuhan serta kegaduhan politik Pasca meredanya situasi Pilpres beberapa waktu lalu. Selain itu juga, Mahfud mengingatkan seharusnya acara ini memiliki tujuan yang jelas, sebab, dirinya mengaku belum mengetahui apa implikasi digelarnya acara ini, terlebih dengan menghadirkan tokoh pembesar FPI, Habib Rizieq Shihab. Yang notabene masih ditahan di Arab Saudi karena ijin tinggalnya.
Jika Acara reuni 212 ini bertujuan untuk bermunajat bagi keselamatan negeri dan memperingati Maulid Nabi, tentunya tak harus seheboh ini, bukan? Apalagi mengundang sejumlah tokoh politik guna meramaikan panggung acara. Namun, acara semacam ini bisa dilakukan secara terkoordinir di Masjid-Masjid terdekat. Selain lebih efektif, juga tak akan mengganggu aktivitas publik. Pun dengan masalah keamanan yang harus melibatkan aparat guna menjaga situasi tetap kondusif. Sebetulnya negara tidak pernah melarang agenda semacam ini, namun masyarakat kini lebih pintar menilai. Tak hanya merasa telah jauh dari nilai agama yang diyakini, namun juga akan mampu merusak citra dari agama itu sendiri. Jangan sampai acara yang mengatasnamakan suatu agama ini lari dari esensi semula dan membuatnya makin tak bersahaja.
)* Penulis adalah pengamat sosial politik