Media Satu dan Media Dua: Pilih Yang Mana?
Apakah media membuat kita memilih satu pihak saja?
Kita telah memasuki era partisipatif informasi, dimana kita sebagai pengguna media, warganet, bisa saling berbagi pandangan dan informasi. Publik menjadi sosok yang mengumpulkan, melaporkan, menganalisis, dan menyebarkan berita dan informasi itu sendiri. Moderasi pun aktif dilakukan antar warganet dalam komunitas media itu. Keterlibatan publik secara langsung dikenal sebagai citizen journalism beriringan dengan hegemoni media yang kita bisa rasakan cukup ramai kali ini. Ya, karena jelang Pilpres 2019. Ya, karena 5 tahun sekali belanja iklan dalam selebrasi tahun politik bakal meningkat dan menjadi ladang untung bagi korporasi media.
Media membutuhkan kekuatan modal dan elit dalam keberlangsungannya. Media menyediakan ruang bagi siapapun yang mampu ‘menyewa’ ruang tersebut. Masih terngiang di kepala kita, bagaimana satu atau dua media rutin memutarkan mars partai politik di awal hari. Banyak pula media berat sebelah kental membela sosok ini maupun sosok itu. Inilah yang kemudian membuat media tidak berimbang. Berat sebelah,
Untungnya, tidak semua media semena-mena memberikan ruang lalu menjadi ketergantungan terhadap penyewa ruang. Beberapa media bersikeras terhadap independensinya. Persaingan politik memang sangat dinamis, namun secara etika, media perlu menjaga independensinya. Kita sebagai publik tidak perlu cemas terhadap media partisan. Karena public trust, alias pasar-lah yang akan menentukan kebertahanan media dalam menjaga eksistensi. Kendali saat ini ada di jari kita, kita yang memilih channel, kita yang menentukan apa yang mau kita baca, apa yang tidak mau kita telan.
Sebagai kritik, media harus menghentikan paradigma media darling, agar tak melulu itu yang dibahas dan agar segala aspek yang belum diekspos bisa digali dan ditampilkan sebagai fakta utuh yang mengakomodir kepentingan publik. Kita semua bisa punya andil besar dalam mengendalikan perilaku media sebagaimana pasar bisa mengendalikan selera. Kita dapat memanfaatkan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) dan Dewan Pers sebagai ruang untuk melaporkan setiap kritik, keluhan dan tuntutan kita terhadap berbagai pemberitaan dan tayangan.
Media netral khas cover bothside perlu kita pilih dan semoga semakin banyak media bersikap seperti ini agar mampu merawat logika publik dalam menelan dan menelaah pemberitaan. Media media peyoratif yang terlalu bombastis perlu kita kritisi. Literasi digital menjadi sangat penting untuk menghindari adanya bias. Sebagaimana kita akhir-akhir ini kurang rileks dalam membicarakan politik, jangan biarkan kericuhan di dunia maya lantas kita bawa dalam dunia nyata. Ketegangan ini harus segera diakhiri agar kita bisa memilih dengan tenang, menerima setiap fakta secara wajar, namun tetap membuka ruang untuk berdialog. Agar teruslah tumbuh kedewasaan dari pendukung kedua belah pihak. Independensi media kini yang penting dan turut andil dalam menguatkan hal ini.