Polemik Politik

Bijak Menyikapi Pelemahan Rupiah

Oleh : Rika Prasetya )*

Saat ini mata uang dolar mengalami penguatan yang berdampak pada melemahnya nilai tukar rupiah. Pada beberapa waktu lalu nilai dolar berada dikisaran 14.000 rupiah. Naiknya dolar tersebut menghasilkan berbagai komentar dari rakyat Indonesia. Komentar publik pun beragam, tapi kebanyakan mereka khawatir jika rupiah terus melemah.

Akibat yang ditimbulkan dari melemahnya nilai tukar rupiah sudah lebih dulu menjadi ketakukan bagi masyarakat. Di mulai dari harga-harga barang yang akan ikut naik semakin tingginya nilai dolar, sementara daya beli masyarakat masih tetap rendah. Hal itu menjadi hal yang menggelisahkan banyak orang.

Ada beberapa penyebab nilai tukar  rupiah mengalami penurunan terhadap dolar. Salah satu penyebabnya adalah naiknya harga minyak dunia dan juga kebijakan dari bank sentral Amerika The Fed, yakni menaikkan suku bunga The Fed. Rencananya kenaikan tersebut akan dilaksankan pada bulan Maret, Juni dan Agustus.

Selain itu, pelemahan rupiah juga disebabkan oleh isu-isu ekonomi.  Pemerintah masih perlu untuk berbelanja kebutuhan negara sehingga infrastruktur dapat dibangun lebih cepat. Dan hal yang paling penting adalah bagaimana meyakinkan investor untuk mau menginvestasikan dananya di Indonesia.

Mengenai melemahnya rupiah, Sri Mulyani menjelaskan pada acara rapat kerja di komisi XI DPR, Hal ini disebabkan karena dampak dari kebijakan Amerika Serikat menaikkan suku bunga banknya. Sebenarnya bukan hanya Indonesia saja yang terkena dampak dari kenaikan dolar, tapi juga negara lainnya.

Menyikapi turunnya nilai rupiah ini, pemerintah telah membuat sejumlah program untuk menanggulangi hal tersebut. Sejumlah BUMN juga turut terkena dampak dari naiknya dolar, seperti salah satunya pertamina. Dengan naiknya harga minyak, pertamina harus menanggung kerugian sekitar 25 triliun karena perlu tetap menyediakan bahan bakar premium dan minyak bersubsidi.

Pertamina saat ini tertekan dengan kondisi rupiah yang melemah. Terlebih lagi harga minyak dunia naik US$ 55 dolar per barel menjadi US$ 70 dolar per barel. Mengenai hal ini, pemerintah menugaskan agar pertamina bisa mengelola dana dengan baik dan menerapkan penghematan. Pertamina mulai memangkas biaya yang tidak terlalu diperlukan seperti renovasi kantor dan pembangunan apartemen di medan. Namun, rumor yang mengabarkan bahwa perusahaan ini akan bangkrut tidaklah benar. Saat ini pertamina masih mampu menjalankan usahanya.

Meski saat ini, pertamina belum bisa membuka kondisi keuangannya. Namun, pemerintah tidak lantas lepas tangan terhadap pertamina. Tentunya saat ini akan ada cara yang dibuat sehingga tidak membiarkan pertamina terus menerus merugi.

Menurut pakar ekonomi, Budi Hikmat, pelemahan rupiah akan berpengaruh pada bursa saham Indonesia. Seperti yang terjadi di tahun 2013, dimana rupiah turun hingga 26% dan itu berimbas pada tertekannya aset saham dan surat utang negara. Sementara di tahun 2016 dan 2017, rupiah masih cenderung stabildan aset tersebut masih tetap stabil. Namun, di tahun ini rupiah mengalami penurunan hingga 2% dan berdampak minus 6,9% untuk bursa saham dan -0,9% untuk surat utang negara.

Sebenarnya pelemahan rupiah ini karena dua faktor, yakni eksternal dan internal. Banyak yang berpendapat jika, penurunan nilai tukar rupiah dan juga mata uang lainnya karena dampak dari kebijakan Amerika yang membuat The Fed akhirnya meningkatkan suku bunganya. Di tahun ini pun The fed kembali menaikkan suku bunganya secara bertahap sekitar dua sampai 3 kali. Hal ini juga sejalan kenaikan upah pekerja di Amerika serikat dan juga menurunnya tingkat pengangguran di Amerika.

Sebenarnya langkah yang dimotori Amerika ini menjadikan ekonomi global semakin membaik. Selain Amerika, China dan negara-negara Eropa juga berlomba dalam meningkatkan nilai komoditasnya. Lalu, apakah kenaikan dolar akan terus meningkat dan membuat rupiah semakin lemah?

Sebenarnya tidak juga, karena saat ini yield spread AS sedang menipis. Karena itulah siklus bisnis Amerika tidak akan terus meningkat tajam. Karena jika The fed menaikkan suku bunganya kembali justru akan membunuh perekonomian di Amerika. Hal ini pula yang menjadi landasan para investor untuk beralih memiliki aset-asetnya ke negara yang memiliki pertumbuhan lebih baik.

Hal ini sebenarnya menjadi kesempatan Indonesia untuk meraup investor. Itulah sebabnya banyak infrastruktur yang dikebut agar potensinya bisa dimaksimalkan. Saat ini Indonesia masih perlu meningkatkan eksport agar semakin menambah devisa negara. Selain, penyediaan layanan yang berhubungan dengan jasa juga perlu ditingkatkan. Indonesia juga punya potensi sebagai negara pariwisata yang bisa dikembangkan lebih jauh. Jika dikelola dengan baik, tidak mengherankan jika nantinya Indonesia menjadi negara yang dikunjungi turis-turis dan itupun akan menambah devisa negara.

Meski isu kenaikan rupiah ini masih belum akan berujung, namun saat ini perusahaan-perusahaan di Indonesia masih berjalan sabil. Namun, jika rupiah terus mengalami kenaikan, para pelaku industri tentunya sedang hitung-hitungan untuk menaikkan harga jual produk mereka.

Hal ini juga disampaikan oleh ketua GAPMMI yakni gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia, Adhi S Lukman, lemahnya nilai tukar rupiah saat ini membuat para pelaku industri makann dan minuman memutar otak mereka agar tetap bisa mempertahankan bisnisnya. Apalagi untuk industri yang bahan bakunya mengandalkan impor, tentuya lemahnya tukar rupiah ini akan semakin terasa. Mau tidak mau produsen perlu menaikkan harga jual mereka agar tetap mendapatkan keuntungan dalam bisnisnya. Namun, dikatakan Adhi, meskipun saat ini nilai rupiah melemah, belum ada industri yang tumbang dan terpaksa gulung tikar.

Langkah yang diupayakan pemerintah terhadap kenaikan agar tidak terlalu berimbas pada perekonomian nasional yakni dengan memotong cadangan devisa demi memenuhi pembayaran utang luar negeri yang membengkak karena naiknya dolar. Devisa negara tergerus hingga 3,1 miliar akibat penurunan nilai tukar rupiah. Meski memotong cadangan devisa, BI memandang cadangan devisa negara tetap memadai. Tentunya hal ini juga perlu didukung dengan peningkatan ekspor.

Naiknya nilai dolar ini, ketika disikapi dengan positif maka akan berdampak positif. Namun, sebaliknya ketika publik sudah langsung sentimen terhadap kenaikan dolar, kita hanya akan mendapatkan hal-hal buruknya saja. Ketika nilai rupiah melemah, maka yang perlu dilakukan adalah membatasi import.

Sebaliknya keuntungan eksport akan naik berkali-kali lipat saat dolar mengalami kenaikan. Yang perlu dilakukan adalah bagaimana supaya mendorong masyarakat agar lebih produktif dan mau untuk mencoba mengeksport produk ke luar negeri.

Sebenarnya eksport tidak harus dengan produk saja, tetapi juga bisa dibidang jasa maupun kreatifitas. Seperti yang kita tahu, bahwa saat ini adalah zamannya kreatifitas. Kreatifitas seseorang dihargai dengan nilai yang tinggi. Menunjukkan kreatifitas dan bersaing dengan orang-orang dilingkup internasional tentunya bukan hanya menjadi sebuah kebanggaan tetapi pekerjaan tersebut juga akan menambah devisa negara.

Dalam menyikapi perekonomian global yang saat ini masih tidak menentu, yang perlu dilakukan adalah terus mencari peluang untuk memanjukan perekonomian skala nasional maupun skala internasional dengan cara meningkatkan eksport. Ketangguhan bangsa yang jeli dalam melihat peluang diantara sejumlah tantangan ini diharapkan dapat membawa Indonesia menjadi lebih baik.

 

)* Penulis adalah Kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI)

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button

Adblock Detected

Kami juga tidak suka iklan, kami hanya menampilkan iklan yang tidak menggangu. Terimakasih