Melawan Guncangan Ekonomi Internasional
Oleh : Heiriyan )*
Pergerakan nilai tukar rupiah tahun-tahun terakhir mengalami pelemahan yang cukup mengkhawatirkan, bahkan bulan Maret 2018 mencapai kurs 13.783. semenjak bulan Februari 2018 secara perlahan nilai tukar rupiah mengalami penurunan sedikit demi sedikit. Meskipun cadangan devisa Indonesia sejak awal tahun jauh melampaui standar internasional kecukupan tiga bulan impor, cadangan devisa Indonesia saat ini bisa menutupi membiayai 8,1 bulan impor atau 7,9 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.(Seputarforex, 2018)
Berbagai analisis ekonomi coba menguarai penyebab melemahnya nilai tukar rupiah, mulai dari akibat iklim perdagangan internasional yang sedang lesu, kebijakan ekonomi Amerika Serikat melalui proteksi perdangan dan reformasi pajak, tingkat kepercayaan nasabah untuk menyimpan uang di bank akibat kasus BRI, serta kenaikan harga minyak dunia secara perlahan (defisit neraca perdagangan). Kondisi yang cukup mengkhawatirkan bagi ekonomi Indonesia kedepan. Gubenur Bank Indonesia Agus Martowardoyo menenangkan publik bahwa pelemahan ini hanya sampai 22 Maret 2018 diakibatkan adanya pertemuan The Federal Open Market Comitte (FOMC) yang Fed Fund Rate yang berdampak pada berbagai mata uang termaksud Rupiah. (Tempo , 2018)
Determinasi struktur ekonomi internasional tidak terelakan bagi Indonesia, Bank Indonesia (BI) selaku otoritas yang berwenang penuh terhadap kebijakan moneter Indonesia, sejak 1997 memakai sistem nilai tukar mengambang penuh. Tugas pokok BI saat ini menjadi lebih fokus karena memiliki sasaran tunggal. Namun, dalam pelaksanaannya tugas tersebut cukup berat mengingat kestabilan nilai rupiah tidak sepenuhnya dapat dikendalikan oleh BI. Bank Indonesia hanya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi tekanan inflasi dari sisi permintaan, sedang tekanan inflasi yang berasal dari sisi penawaran sepenuhnya berada diluar pengendalian BI. Demikian pula, dengan ditetapkannya sistem nilai tukar mengambang bebas maka nilai tukar rupiah akan sepenuhnya ditetapkan oleh kekuatan pasar. Adapun tujuan tunggal kebijakan moneter BI untuk menjaga stabilitas nilai rupiah terangkum dalam kerangka kerja penargetan inflasi (Arif dan Tohari, 2006).
Dampak langsung dari sistem ini adalah pemakaian devisa bebas, yang mana aliran dana ke Indonesia bisa keluar masuk dengan bebas. Pada masa normal, pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah lebih banyak dikendalikan oleh pasar atau mekanisme permintaan dan penawaran. Bila pasokan dolar AS di dalam negeri tercukupi, dipastikan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS bakal stabil. Permintaan akan dolar AS di dalam negeri biasanya untuk memenuhi kebutuhan pembayaran utang luar negeri ataupun kebutuhan pembayaran oleh importir. Di sini, persepsi pasar ikut menentukan. Ketika ekspor tumbuh, aura positif memengaruhi pasar sehingga nilai tukar rupiah ikut menguat. Ketika ekspor melemah, pasar akan menganggap devisa Indonesia akan berkurang sehingga nilai tukar rupiah pun ikut melemah.
Suplai dolar AS bisa dipasok dari pinjaman luar negeri pemerintah, investasi asing, dan ekspor. Bila ekspor menguat, seharusnya banyak valuta asing masuk ke dalam negeri dalam denominasi dolar AS berbentuk hard currency yang masuk dibawa para eksportir. Bank sentral juga bisa melakukan operasi pasar memasok dolar AS yang diambil dari cadangan devisa. Namun, devisa yang masuk selama ini terbatas hanya berasal dari pinjaman luar negeri pemerintah, ekspor yang dilakukan perusahaan BUMN, serta investasi portofolio dalam jumlah besar (hot money). Sedangkan, devisa hasil ekspor lebih banyak parkir di perbankan luar negeri. Contohnya, pada 2011, ada potensi devisa dari ekspor sebesar 29 miliar dolar AS yang seharusnya bisa memasok kebutuhan valuta asing dalam negeri.
Dengan kondisi seperti ini Bank Indonesia meskipun memiliki cadangan devisa yang besar, kewenangan yang dimilikinya sebatas memberikan intervensi pada valuta asing dan menaikan suku bunga. Secara umum hal tersebut berdampak pada strategi moneter yang dipilih BI yang akan direkomendasikan ke pemerintah. Strategi moneter yang dapat dipilih adalah (i) kebijakan moneter longgar (easy monetary policy) dan (ii) kebijakan moneter ketat (tight monetary policy). Kebijakan moneter longgar akan ditempuh untuk menggiatkan kembali perekonomian yang sedang lesu, dengan cara mempermudah dan menambah jumlah uang beredar, agar permintaan konsumsi naik produksi naik. Namun demikian dalam perekonomian terbuka dan sistem devisa bebas, kebijakan moneter yang longgar dapat menimbulkan dampak seperti turunya devisa Negara (Warjiyo, 2004).
Sementara itu, kebijakan moneter ketat akan memberi dampak sebaliknya, terutama dalam rangka meredam kenaikan harga atau inflasi yang berlebihan. Tekanan terhadap neraca pembayaran berkurang karena produk dalam negeri kembali dapat bersaing meskipun dengan kebijakan ini akan berdampak pula pada menurunnya pertumbuhan ekonomi. Hal itu disebabkan karena jumlah uang yang beredar dikurangi sehingga permintaan juga berkurang. Untuk saat ini pilihan yang paling memungkinkan dilakukan oleh BI adalah dengan melakuakan intervensi valuta asing, karena belum beberapa lama BI sudah menurunkan BI rate (suku bunga), berat rasanya untuk kembali menaikan kembali.
Bagaimanapun BI hanya merekomendasikan kebijakan ekonomi yang harus diambil pemerintah, agar stabilitas moneter Indonesia tetap terjaga ditengah guncangan ekonomi internasional yang sudah dimulai. Kebijakan-kebijakan ekonomi yang tepat dalam mendukung langkah BI dalam menjaga nilai rupiah adalah prasyarat yang harus dilakukan pemerintah menjelang tahun-tahun politik ini.
)* Penulis adalah pengamat ekonomi