Memupuk dan Menumbuhkan Asa Kesejahteraan Papua dengan UU DOB
Nur Hidayat Said
Pada akhir Juni lalu, DPR RI telah mengesahkan tiga Rancangan Undang-Undang (RUU) terkait pemekaran wilayah di Provinsi Papua. Bersama dengan itu, lahirlah tiga provinsi baru di Papua, yakni Papua Selatan, Papua Pegunungan, dan Papua Tengah. Sehingga, saat ini Indonesia telah memiliki 37 Provinsi.
Ya, 37 provinsi. Memang, masa reformasi ini strategi pemekaran menjadi lazim dilakukan di Indonesia. Di tahun 2014, provinsi berjumlah 34 yang mana tumbuh dari 27 provinsi pada 1999. Lalu bagaimana dengan pemekaran Papua? Selalu ada pro-kontra dalam setiap kebijakan yang diambil. Pihak pro, berargumen bahwa dengan adanya pemekaran akan membuka peluang perbaikan hidup dan kesejahteraan penduduk Papua. Sebaliknya, kubu yang menolak pemekaran berargumen bahwa dengan adanya pemekaran hanya akan menguntungkan kaum elite.
Perdebatan setuju atau tidak perihal pemekaran yang dilakukan di Provinsi Papua sudah tak relevan lagi seiring dengan disahkannya UU terkait Daerah Otonom Baru (DOB) untuk tiga provinsi, yakni Papua Selatan, Papua Pegunungan, dan Papua Tengah. Apakah pekerjaan telah selesai? Tentu belum. Pekerjaan baru malah dapat dikatakan baru dimulai.
Setelah terbentuknya tiga provinsi baru ini, pembangunan wilayah tersebut harus terus dikawal untuk bisa membawa kebermanfaatan bagi warganya. Lahirnya tiga provinsi baru ini bukanlah sebuah kebetulan yang tiba-tiba. Isu ini telah diangkat sejak beberapa tahun terakhir. Kementerian PPN/Bappenas pun juga memiliki dokumen yang dirujuk perihal pemekaran ini yaitu Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua (RIPPP) 2022-2041.
Kehadiran dari DOB diharapkan dapat berpengaruh secara positif terhadap peningkatan kesejahteraan, percepatan pembangunan, perbaikan pelayanan publik, dan daya saing. Namun, jika tidak memiliki kesiapan yang matang, DOB tersebut akan menghadapi bumerang. Dari aspek kemampuan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang masih terbatas dibandingkan daerah yang lain. Misalnya saja dari segi pencegahan korupsi.
Survei Penilaian Integritas KPK 2021 menunjukkan rentannya risiko korupsi di Papua dibandingkan daerah lain. Indeks penilaian integritas di Papua bernilai 58,04 atau dibawah rata-rata nasional yang mencapai 72,4. Penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik harus terus diupayakan dapat terlaksana karena mengingat besarnya pengelolaan Dana Otonomi Khusus (Otsus) di Papua. Dalam periode 2002-2021 total alokasi Dana Otsus dan Dana Tambahan Infrastruktur yang dikucurkan untuk Provinsi Papua mencapai Rp99,58 triliun.
Aspek stabilitas ketenteraman dan ketertiban umum pada skala lokal juga perlu diperhatikan. Karena kita tahu bersama bahwa sempat terjadi perebutan lokasi ibu kota Provinsi Papua Tengah antar kepala daerah, yakni Timika dan Nabire. Yang meskipun akhirnya diputuskan Nabire menjadi lokasi ibu kota. Lemahnya dukungan elite politik lokal juga bisa memicu tidak stabilnya kondisi keamanan di wilayah tersebut. Walaupun, konteks pembentukan DOB di Papua seperti UU No 2/2021 dapat dilaksanakan secara top-down. Belum lagi pada akar rumput masyarakat lokal yang tentu masih hangat untuk dibahas perihal pro-kontra masing-masing.
Bersama dengan lahirnya Papua Tengah, Papua Selatan, dan Papua Pegunungan kita bersama harus mengingat bahwa ending yang ingin dicapai adalah memperbaiki kesejahteraan masyarakat. Jangan sampai mekanisme pemekaran DOB ini hanya menjadi akses dan ajang bagi para elite lokal untuk berebut kekuasaan dan menciptakan peluang untuk penyalahgunaan dana otonomi khusus.