Mencegah Kelompok “manipulator agama” Menguasai Masjid
Oleh : Wildan Nasution dan Erlangga Pratama )*
Masjid adalah rumah ibadah bagi umat Islam. Selain berfungsi sebagai rumah ibadah, masjid juga seringkali digunakan untuk kegiatan sosial dan keagamaan lainnya, bahkan di era perjuangan menegakkan agama Alloh SWT, masjid juga digunakan oleh Nabi Muhammad SAW, para khalifah dan sahabat-sahabat serta pengikut setianya untuk merencanakan strategi dalam memenangkan peperangan, sehingga posisi masjid sangat strategis bagi Islam.
Di era saat ini, masjid juga berperan krusial dan penting dalam kegiatan dakwah, literasi agama bahkan kegiatan-kegiatan lainnya. Mengingat posisi pentingnya masjid, maka banyak juga kelompok kepentingan terutama dari kelompok “manipulator agama” di beberapa daerah berusaha keras “menguasai” masjid dengan mendominasi atau mengganti pengurus dan Dewan Kehormatan Masjid yang sudah sejalan dan setujuan dengan mereka.
Menurut Pengamat Terorisme, Al Chaidar, menyatakan paparan radikalisme maupun intoleransi tak hanya terjadi di masjid lingkungan kementerian, lembaga, dan BUMN, tapi sudah menyebar ke hampir seluruh tempat ibadah di Indonesia. Dalam penelitiannya, deklarasi pembaiatan sudah dilakukan secara terbuka di masjid-masjid.
Saat ini diperkirakan lebih dari 200 masjid kampus telah berdiri. Dari gambaran hasil penelitian yang dilakukan oleh LPPM UNUSIA di Jogjakarta dan Jawa Tengah, ditemukan banyak masjid kampus di Perguruan Tinggi negeri terpapar radikalisme.
Dalam penelitian kualitatif yang dilakukan sejak Desember 2018 hingga Januari 2019, terhadap delapan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, meliputi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Diponegoro (Undip), Universitas Negeri Semarang (Unnes), Universitas Negeri Surakarta (UNS), Insitut Agama Islam Negeri Surakarta (IAIN Surakarta), Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), dan Institut Agama Islam Negeri Purwokerto (IAIN Purwokerto) ditemukan bahwa sebagian gerakan Islam di kampus berkiblat ke organisasi Islam di Timur Tengah yang merupakan gerakan Islam transnasional.
Temuan yang perlu menjadi perhatian bersama adalah, gerakan-gerakan Islam transnasional yang tampak di PTN-PTN tak sekadar berkiblat ke luar negeri, tetapi juga cenderung menutup diri dari keragaman Indonesia dan justru hendak menyeragamkan Indonesia. Karena ketertutupan pada keragaman itu, gerakan Islam transnasional disebut juga dengan gerakan Islam eksklusif.
Gerakan Islam eksklusif transnasional yang diperhatikan penelitian ini adalah Gerakan Tarbiyah, Hizbut Tahrir, dan Salafi. Gerakan Tarbiyah berkiblat ke Ikhwanul Muslimin di Mesir. Hizbut Tahrir adalah gerakan internasional mendirikan Khilafah Islam, yang bermanifestasi di kampus antara lain dalam bentuk GP (Gema Pembebasan). Sementara itu, Salafi adalah gerakan pemurnian Islam yang berkiblat ke Wahabisme Arab Saudi.
Sementara itu, menurut hasil survei Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyakarakat (P3M) NU serta Rumah Kebangsaan menyebutkan, sebanyak 41 dari 100 masjid yang ada di lingkungan kementerian, lembaga, dan BUMN, terpapar radikalisme. P3M NU melakukan penelitian terhadap sejumlah masjid, yaitu 35 masjid di kementerian, 37 masjid di BUMN (Badan Usaha Milik Negara), dan 28 masjid di lembaga negara. Penelitian dilakukan pada 29 September-21 Oktober 2017 dengan merekam secara audio dan video khotbah Jumat selama periode tersebut. Agus mengatakan setidaknya ada enam topik radikal paling populer yang ada di masjid-masjid tersebut. Selain ujaran kebencian, topik-topik itu adalah sikap positif terhadap khilafah, sikap negatif terhadap minoritas, sikap negatif terhadap agama lain, sikap negatif terhadap pemimpin perempuan, serta kebencian pada minoritas.
Dari penelitian itu, sikap negatif terhadap agama lain menjadi konten radikal tertinggi nomor dua dengan persentase 21,17 persen. Adapun topik lain seperti sikap positif terhadap khilafah di angka 18,15 persen, sikap negatif terhadap minoritas 7,6 persen, kebencian pada minoritas 2,1 persen, dan sikap negatif terhadap pemimpin perempuan 1,1 persen.
Pengertian radikal dalam penelitian tersebut yaitu radikal rendah diartikan terkait isi khutbah yang terkandung sikap ragu-ragu jika ada yang bersikap negatif terhadap agama lain. Sedangkan radikal sedang, yakni setuju dengan sikap negatif atau intoleran terhadap umat agama lain. Sementara, radikal tinggi sudah memprovokasi umat untuk bertindak negatif terhadap umat agama lain.
Keberadaan masjid terutama di Kementerian/Lembaga dan BUMN perlu dijaga dari segala upaya penyebaran kebencian terutama yang dilakukan oleh kelompok manipulator agama. Perlu upaya semua pemangku kepentingan untuk memberikan early warning dalam rangka meningkatkan kewaspadaan, tetap menjaga sikap toleran dan menghargai kebhinekaan.
Untuk itu, dalam mencegah tersebarnya paham radikalisme juga dilakukan pemberdayaan da’i agar menyampaikan ceramah yang menyejukan dan meningkatkan kerjasama dengan Ormas Islam yang moderat untuk mencegah penguasaan masjid oleh kelompok manipulator agama.
Selain itu, juga perlu diantisipasi dan diperhatikan keberadaan masjid di kalangan Universitas/Sekolah Tinggi dari penguasaan “underbow kelompok manipulator agama” seperti yang disinyalir dikuasai/dikendalikan oleh eks HTI. Apalagi, juga ada survei yang menyatakan, terdapat tujuh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang terpapar radikalisme, dan 39 persen mahasiswa di 15 Provinsi tertarik dengan paham radikal.
*) Penulis adalah pemerhati masalah kebangsaan.