Mengapresiasi Imbauan Tokoh Agama Tolak Demo UU Cipta Kerja
Oleh : Dodik Prasetyo )*
Demo menentang UU Cipta Kerja dilakukan selama beberapa kali. MUI dengan tegas mengingatkan agar pendemo menghentikan aksinya, karena ada kabar bakal ada unjuk rasa lagi. Selain mengkhawatirkan adanya kerusakan fasilitas umum, MUI juga takut demo ini akan lebih menyebarkan virus covid-19 ke kalangan masyarakat luas.
Omnibus law UU Cipta Kerja mencetak rekor sebagai undang-undang yang paling sering diprotes oleh sebagian masyarakat. Padahal aturan ini dibuat untuk memakmurkan mereka. Namun masyarakat sudah terlanjur termakan hoax dan provokasi. Para buruh takut jika gajinya berkurang, karena ada perubahan dari UMK ke UMP.
Presiden Jokowi sudah menjelaskan panjang lebar tentang UU Cipta Kerja dan memaparkan kebenaran hoaxnya. Namun beberapa buruh masih belum puas. Bahkan mereka mengancam akan berdemo kembali.
Para tokoh Majelis Ulama Indonesia di Banten pun mengambil suara dan melarang adanya demo lagi.
Ketua MUI Provinsi Banten, A.M. Romly menyatakan bahwa MUI memiliki tanggung jawab moral kepada masyarakat. Sehingga ketika mengikuti perkembangan demo, jadi kaget karena banyak orang bertindak di luar batas. Contohnya dengan mencaci-maki pemerintah dan seakan-akan memusuhi aparat. Hal ini jelas termasuk tindakan amoral.
MUI juga tidak merestui adanya demo untuk menolak omnibus law, karena para pengunjuk rasa sudah melenceng jauh dari tujuan awal. Bukannya menyampaikan aspirasi secara santun, namun mereka berorasi dengan penuh emosi. Ketika tidak berhasil bertemu dengan Presiden, mereka lalu merusak fasilitas umum seperti halte dan bahkan berani membakar kantor polisi.
Tindakan anarki ini merugikan orang lain dan pemerintah harus mengeluarkan dana sampai milyaran untuk memperbaiki fasilitas umum yang dirusak. Apakah ini yang dinamakan demo untuk melindungi rakyat dari sebuah UU? Nyatanya hanya ada kekerasan yang memusingkan banyak pihak.
MUI bukannya melarang mereka untuk berkomunikasi dengan wakil rakyat. Namun caranya tidak seperti itu. Jika sampai ada pembakaran kantor polisi, maka sudah melanggar hukum. Karena MUI ingin menjaga moral masyarakat, maka terus mengingatkan agar jangan ada demo susulan. Karena khawatir akan ada fasilitas umum yang dirusak lagi pada unjuk rasa tersebut.
Selain itu, demo saat pandemi tentu sangat mengkhawatirkan. Karena bisa membuat klaster corona baru. Oleh karena itu, MUI dengan tegas melarang unjuk rasa susulan. Dengan alasan faktor kesehatan masyarakat. Keselamatan banyak orang lebih penting daripada demo yang belum tentu membuahkan hasil.
Saat demo tanggal 8 oktober lalu ada sejumlah orang yang wajib dites rapid dan hasilnya 12 pengunjuk rasa positif corona. Mereka disarankan untuk isolasi mandiri. Ketika dalam perjalanan pulang, para pendemo yang positif corona juga dikhawatirkan menularkan ke orang lain yang berkontak, saat perjalanan. Karena virus ini bisa menyebar lewat udara.
Sudah jelas ada klaster corona baru saat demo tersebut. Mengapa masih ada unjuk rasa susulan? Jika ada demo lagi, maka mereka bagaikan menyetor nyawa ke malaikat Izrail. Karena ada resiko besar yang mengintai untuk tertular corona yang berbahaya. Maka lebih baik cari selamat daripada berjalan jauh, kepanasan, berteriak-teriak, lalu diusir aparat.
Jika sudah mengidap corona, maka masa depan pendemo terancam. Para pasien yang isolasi mandiri bisa dikucilkan oleh lingkungan. Selain itu, jika perusahaan tahu bahwa mereka positif karena demo, tidak akan mendapat simpati dan santunan. Karena sakitnya akibat kesalahan mereka sendiri.
Jangan gegabah dan terprovokasi ajakan untuk melakukan demo untuk menolak omnibus law. MUI sudah mengingatkan untuk stay cool dan tidak berunjuk rasa. Karena demo yang ada malah menghalalkan tindakan anarki, dan memperbanyak jumlah pasien corona di Indonesia.
)* Penulis adalah kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia LSISI