Menimbang Perppu Terkait HTI dengan Jernih
Oleh: Haris El Mahdi )*
Almarhum Soegeng Sarjadi berulang-ulang memberi nasehat : ”Berpolitik adalah bernegara, dan bernegara adalah berkonstitusi”. Maknanya praktik politik seyogyanya patuh dan tunduk pada konstitusi, karena dalam konstitusi itulah narasi besar bernegara terejawantah. Konstitusi adalah kontrak politik warga-negara dan/atau warga-bangsa. Berpolitik menjadi ideal jika dipandu oleh konstitusi itu.
Oleh karena itu, cara kita mencandra PERPPU No 2 tahun 2017 tentang Keormasan juga harus menggunakan kacamata konstitusi, bukan kacamata yang lain. Mari kita cek PERPPU dalam konstitusi kita. Pasal 22 ayat 1 UUD 1945 termaktub teks sebagai berikut :
“Dalam hal ihwal kepentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”.
Artinya, PERPPU adalah hak konstitusional yang dimiliki Presiden. Seorang Presiden Indonesia yang menginisiasi diterbitkannya PERPPU tidak bisa dituduh otoriter atau diktator karena sudah diatur oleh konstitusi. Hal ini tentu berbeda jika Presiden mengeksekusi kebijakan tanpa didahului PERPPU.
Mengenai “kegentingan memaksa” atau kerap dipadankan dengan keadaan darurat, hal itu merupakan penilaian subyektif Presiden sebagai pengguna kuasa penerbitan PERPPU. Tentu saja, dalam hal ini, Presiden niscaya mendengar nasehat dari orang-orang di sekitarnya.
Namun, meskipun PERPPU adalah hak konstitusional Presiden, bukan berarti Presiden bisa langsung mengeksekusi. PERPPU harus mendapat persetujuan DPR untuk dieksekusi. Pasal 22 ayat 2 UUD 1945 menarasikannya sebagai berikut :
“Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut.”
Dan, di ayat 3, pasal yang sama diuraikan :
“Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan Pemerintah itu harus dicabut.”
Di titik ini jelas terpatri bahwa jika publik setuju/tidak setuju PERPPU no 2 tahun 2017 tentang keormasan itu, saluran konstitusionalnya adalah melalui DPR. Segala bentuk argumentasi, debat, dan demonstrasi bisa ditujukan ke DPR untuk setuju/tidak setuju PERPPU itu.
Tentu saja, dalam konstitusi Indonesia, debat publik sah dan harus untuk mengkritisi isi dari PERPPU keormasan itu. Namun, debat publik tidak akan menjadi keputusan politik jika tidak dimaterialkan menjadi aksi publik untuk mendorong DPR. Keputusan politik bukan berada pada debat publik tapi di Gedung DPR.
Lebih lanjut, andaikata DPR setuju PERPPU untuk dieksekusi, pihak-pihak yang tidak setuju masih punya ruang untuk menggagalkan eksekusi PERPPU itu melalui mekanisme judicial review ke MK. Di MK inilah, publik yang tidak setuju PERPPU No 2 Tahun 2017 itu bisa menguji apakah PERPPU selaras dengan konstitusi atau tidak, sesuai dengan nafas demokrasi atau tidak. Palu keputusan ada pada 9 hakim konstitusi.
Pendek kata, debat publik perihal PERPPU no 2 tahun 2017 menjadi bernilai konstitusional jika disalurkan pula melalui mekanisme yang diatur konstitusi. Debat publik tidak hanya menjadi huru-hara di media sosial dan membuat bangsa terbelah. Cara kita bernegara mengikuti konstitusi sebagai panduannya.
Poin penting yang harus digaris bawahi, seorang demokrat sejati niscaya patuh pada konstitusi. Dan, saya percaya kita semua sedang belajar menjadi demokrat sejati.
Konstitusi adalah kunci.
)* Penulis adalah author di Portal Islami.co