Menolak Kepulangan Anak ISIS Eks WNI
Oleh : Muhammad Yasin )
Pemerintah memang sudah tegas dalam menolak kepulangan anggota ISIS eks WNI. Keputusan itu patut disyukuri mengingat kombatan ISIS memang mampu meningkatkan potensi aksi radikal, tidak terkecuali kelompok anak-anaknya yang sudah ditanamkan ideologi radikal sejak dini.
Siapapun yang telah memilih untuk menjadi kombatan ISIS dan meninggalkan Negara Indonesia, maka hilanglah sudah status kewarganegaraannya. Apalagi jika diketahui bahwa mereka telah membakar passpornya.
Bahkan terdengar kabar bahwa Mantan Presiden ISIS regional Indonesia, Chep Hernawan membantah bahwa anggota ISIS Eks WNI di Suriah ingin pulang ke Indonesia.
Pria yang pernah menjabat sebagai Presiden ISIS di Indonesia selama 4 tahun ini mengatakan bahwa WNI yang bergabung di ISIS tidak ada yang ingin pulang ke Tanah Air.
Oleh karena itu, bagi siapapun yang telah bergabung dengan ISIS, maka secara otomatis hilang kewarganegaraannya. Artinya bukan berarti Indonesia melepaskan mereka, tetapi merekalah yang telah secara tegas menunjukkan bahwa dirinya telah keluar dan ingin bergabung dengan negara khilafah.
untuk tidak memulangkan anggota ISIS asal Indonesia sepenuhnya adalah kewenangan pemerintah.
Menurutnya, langkah yang telah diambil oleh pemerintah tersebut tidaklah menyalahi aturan mengenai kewarganegaraan, apalagi jika mereka telah membakar paspornya.
Dukungan atas keputusan tersebut juga datang dari Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Agung Laksono, dirinya mendukung keputusan pemerintah yang tidak memulangkan WNI eks ISIS dan terduga teroris lintas batas.
Dirinya menilai, keputusan tersebut membuat masyarakat Indonesia yang berjumlah 260 juta jiwa merasa lega. Agung juga sepakat dengan Presiden Jokowi yang menyebut para kombatan ISIS itu dengan sebutan Eks WNI.
Khusus dari Indonesia yang tergabung dengan ISIS merupakan WNI dari berbagai kalangan, usia dan jenis kelamin, namun seiring dengan pesatnya kemajuan di medan peperangan dengan mencakup wilayah yang luas, ditambah pula dengan kemunduran dan kekalahan pasukannya di medan peperangan juga sangatlah cepat, sehingga tentara ISIS dinyatakan kalah di Irak dan Suriah.
Salah seorang perwira polisi sempat menuturkan, bahwa agar dapat pergi ke Suriah, mereka rela mengorbankan harta benda mereka agar tujuan ‘hijrah’ ke Suriah tecapai. Tidak hanya menjual motor atau mobil, namun juga rumah, tanah atau sawah.
Mereka tentu telah menjadi orang asing yang juga dipertanyakan “kepantasannya” untuk kembali menjadi WNI, bagaimana mereka akan menjadi WNI yang baik kalau dalam benak mereka tidak menganut ideologi Pancasila.
Jika mereka para WNI telah dengan sadar ingin pergi ke Suriah, maka hal itu artinya ia telah mengesampingkan pancasila, sehingga tidak perlu lagi kembali ke Indonesia. Apalagi jika mereka memiliki faham bahwa seseorang yang dianggap kafir harus dibunuh.
Kalau begitu, para Eks WNI yang ada di Suriah lebih baik tidak usah pulang ke Indonesia, daripada nanti menunjukkan sikap anti demokrasi dan toleransi di Indonesia, lebih baik mereka setia saja dengan ISIS yang sudah kalah, jangan lantas sudah kalah baru merengek pulang.
Jika tujuan mereka berjihad, tentu tidak sepenuhnya benar jika jihad dimaknai dengan upaya perang dan angkat senjata. Padahal menafkahi keluarga dan menyumbang harta kepada orang miskin juga termasuk Jihad.
Pun terhadap anak-anak eks WNI yang masih ada disana, mereka yang menyaksikan berbagai penindasan dan kekejian tentu berpotensi menjadi benih radikalisme jika dipulangkan ke NKRI.
Istilah Eks WNI tentu bukan istilah yang berlebihan jika ditujukan kepada para anggota ISIS, karena Presiden Jokowi ingin konsisten dengan Undang-undang (UU) Nomor 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan, yang berbunyi, ‘bahwa seorang warga negara Indonesia (WNI) akan kehilangan kewarganegaraannya bila dirinya bergabung dengan militer asing tanpa izin dari Presiden.
Ketua Umum Vox Point Indonesia, Yohanes Handoyo Budhisejati mengatakan, pemulangan WNI eks ISIS tidak diperlukan, apalagi ada masalah di Indonesia yang lebih urgent, salah satunya adalah intoleransi yang semakin marak.
Menurut Handoyo, Indonesia saat ini masih menghadapi persoalan intoleransi yang serius, maka dari itu jangalan diperumit dengan menambah masalah baru, apalagi dengan memulangkan eks WNI yang tidak patuh terhadap Pancasila.
Menolak kepulangan anak-anak eks WNI tersebut tentu bukanlah tanpa alasan. Mereka juga tidak mengakui keberadaan negara maka pemerintah mestinya tetap berhati-hati dalam membuat kebijakan terkait eks WNI di Suriah, demi keamanan 260 juta jiwa masyarakat Indonesia.
)* Penulis adalah pengamat sosial politik