Mewaspadai Buzzer Kelompok Radikal
Oleh : Rahmat Kartolo )*
Penyerangan terhadap Menko Polhukam Wiranto pada 10 Oktober 2019, ternyata tidak sepenuhnya ditanggapi serius oleh Warganet. Di media sosial, sebagian buzzer (pendengung) oposisi dari kelompok radikal terindikasi memprovokasi masyarakat untuk tidak mempercayai peristiwa teror yang menargetkan Pemerintah. Kepolisian diminta bertindak tegas.
Dalam dunia digital, dewasa ini banyak sekali istilah-istilah baru berkenaan dengan media sosial. Seperti yang kita ketahui, medsos ini seringkali membuat penggunanya tak bisa lepas dari konten-konten didalamya. Mulai dari anak-anak hingga dewasa dengan latar belakang yang beragam, tak ada yang tak kenal perangkat digital ini. Namun, kecanggihan teknologi ini sepertinya juga patut diwaspadai, mengingat era tini elah banyak diatur Undang-Undang dalam penggunaan ITE seperti media sosial.
Berkenaan dengan hal ini ialah bijak menyikapi segala berita yang ada, jangan sampai unggahan yang diluncurkan ke laman pribadi mampu menyeret penggunanya ke dalam bui. Selanjutnya, darimanakah berita-berita positif maupun negatif ini beredar, siapa dan apa tujuannya? Menurut berbagai info, hal semacam ini biasa disebut Buzzer. Tak hanya konten positif, konon kini marak buzzer dengan konten negatif, bermaksud untuk memecah belah persatuan dan kesatuan. Terlebih untuk urusan Buzzer Politik ,tentunya hal ini akan bertujuan guna memuji-muji sang pemilik dan menyepelekan kompetitornya.
Sama halnya berita terkait penusukan Wiranto, selaku Menko Polhukam. Sejumlah pihak menganggap insiden ini ialah rekayasa saja. Menurut Ngasiman Djoyonegoro selaku pengamat intelijen negara ini menyatakan bahwa masyarakat belum benar-benar sadar akan keberadaan kelompok radikal, seperti teroris di negeri ini. Sehingga, Simon (Sapaan akrab pengamat intelijen) ini perlu adanya pemahaman literasi terkait bahayanya kelompok menyimpang ini ditengah masyarakat. Ia mengganggap berita tindakan teror terhadap Menko Polhukam sebagai rekayasa harus diluruskan. Ia juga menyatakan, perlunya masyarakat tahu pemahaman secara lengkap tentang ancaman kelompok ISIS khususnya JAD. Berdasarkan penyelidikan oleh direktur eksekutif Center of Intelligence and Strategic Studies (CISS), insiden penusukan tersebut diduga dari kelompok JAD. Hal ini ditelusuri dari anggapan jika Wiranto telah dinilai menghalangi gerakan mereka yang salah satunya ialah pemberian sikap tegas dalam pembubaran ormas HTI, serta kelompok radikalisme.
Simon juga tak menampik jika di kalangan masyarakat memang masih ada yang rentan terpapar paham juga aksi terorisme. Bahkan, hal ini terbukti dengan berangkatnya sekitar seribu rakyat Indonesia yang berangkat ke Suriah. Sehingga ia mengimbau kepada masyarakat perlu mengawasi dengan ketat bagi mereka yang kembali dari Suriah.
Disisi lain, berkenaan dengan Buzzer politik ini tengah menjadi sorotan usai munculnya sejumlah konflik di beberapa daerah seperti, Papua juga Jakarta. Mereka dinilai ikut andil dalam banyaknya penyebaran hoaks serta provokasi yang ditebarkan melalui media sosial. Bahkan berita paling mengejutkan ialah peristiwa penculikan yang dialami oleh relawan Joko Widodo (Jokowi) bernama Ninoy Karundeng yang diduga akibat ramainya aktivitas buzzer di Indonesia.
Buzzer agaknya mulai menjadi viral setelah pemerintah menemukan adanya aktivitas provokasi serta penyebaran berita hoaks saat terjadinya konflik di Papua Barat. Moeldoko selaku Kepala Staf Kepresidenan, menilai jika buzzer semacam ini mempunyai kelompok dengan kepentingan ekonomi maupun ideologi saat menyampaikan informasi. Konon Buzzer ini mengarah pada kelompok yang beridentitas tak jelas.
Aktivitas para Buzzer ini juga dianggap meresahkan saat berita salah satu media sosial berpengguna terbanyak di Indonesia menutup sekitar 443 akun, 200 akun fanpage, serta 76 grup Facebook yang menunjukkan indikasi perilaku tidak kredibel yang telah terkoordinasi. Menurut platform ini, informasi yang disebar ialah informasi yang tidak benar.
Termasuk kasus penculikan yang dialami oleh Ninoy Karundeng tadi, hal ini diduga akibat adanya penyebaran informasi hoaks oleh para buzzer politik. Meski bukan hal baru, namun pengamat media sosial Pratama Persahda mengutarakan jika kegiatan buzzer ini terlihat jelas pada tahun 2009. Yang menarik ialah, kegiatan buzzer ini malah menjadi ladang bisnis yang menguntungkan.
Terlepas dari hal tersebut, bahaya buzzer terhadap penyebaran berita hoaks perlu diberikan tindakan secara tegas. Mengingat banyaknya buzzer ‘nakal’ terlihat mengancam ketenangan juga kedamaian masyarakat secara keseluruhan. Disisi lain, masyarakat juga diimbau untuk selalu waspada akan pergerakkan buzzer-buzzer yang provokatif dengan pemberitaan yang menyimpang. Maka dari itu warga diminta untuk selalu melakukan kroscek terhadap informasi yang diterima dari laman medsos pribadi mereka. Sehingga masyarakat akan bisa menghindari pengaruh hal menyimpang dari segala berita yang beredar.
)* Penulis adalah pegiat media sosial