Mewaspadai Doktrin Radikalisme Dikalangan Anak-Anak
Oleh : Teguh Pribadi )*
Saat ini, orang tua harus sangat waspada, karena radikalisme sudah menyasar tak hanya ke kaum muda tapi juga anak kecil. Kaum teroris sadar bahwa anak-anak lebih mudah untuk dicekoki paham radikal karena masih polos. Sebelum memasukkan anak ke lembaga pendidikan, orang tua wajib meneliti dengan detail, apakah yayasannya atau gurunya terlibat dengan kaum radikal.
Masyarakat Indonesia terhenyak ketika ada berita tentang anak TK di Probolinggo yang pawai dengan kostum hitam-hitam lengkap dengan penutup wajah dan senjata mainan, bagaikan sekelompok teroris. Merek mengecam aksi tersebut dan menanyakan apakah tidak ada pakaian lain? Peristiwa ini juga jadi sebuah pengingat bahwa sebenarnya ajaran dari kaum radikal sudah merasuk sampai ke tingkat anak-anak.
Kaum radikal memang selalu mencari cara agar bisa memuluskan aksinya dan menyebar ajarannya yang menyesatkan. Ketika mahasiswa susah susah direkrut jadi anggota karena ada pengawasan ketat dari pihak kampus, maka mereka berpindah dan menyasar anak kecil. Caranya dengan membuat lembaga belajar, penitipan anak, PAUD, dan TK yang biasanya bernapaskan religi, sehingga menarik minat banyak orang. Bocah-bocah polos yang jadi murid di sana tentu lebih mudah untuk dicuci otak, karena mereka tentu percaya akan perkataan ibu guru.
Anak TK itu bukannya diajari menyanyi balonku ada lima dan mewarnai gambar, malah diberi dongeng tentang perang Israel dan Palestina. Mereka dicekoki cerita tentang kekejaman Zionis. Padahal kita tahu bahwa di sana bukan hanya konflik agama tapi juga negara, dan berita yang sampai ke Indonesia masih simpang siur, sehingga belum bisa 100 persen dipercaya. Lagipula dongeng seperti itu tentu mengerikan bagi anak-anak kecil yang masih polos.
Selain itu, ciri-ciri dari TK dan lembaga pendidikan untuk anak yang terkoneksi dengan kaum radikal adalah mereka tidak pernah mengadakan upacara bendera, walau hanya setahun sekali ketika tanggal 17 agustus. Murid-murid juga tidak pernah diajak menyanyi lagu Indonesia Raya dan lagu-lagu nasional lainnya. Bahkan tidak ada ekstra kulikuler musik atau drum band di sana karena mereka berpendapat bahwa musik itu haram.
Tak hanya itu. Guru di TK atau playgroup tersebut juga tidak pernah mengajarkan pendidikan kewarganegaraan, padahal biasanya murid di sekolah taman kanak-kanak sudah diajari untuk menghafal pancasila dan nama presiden beserta wakilnya. Mereka juga diajari untuk jadi mujahid cilik dengan iming-iming surga, dan memperbolehkan kekerasan dengan cara pengeboman. Racun pemikiran tesebut tentu sangat berbahaya bagi anak yang bisa menelannya mentah-mentah.
Radikalisme yang sudah menyasar anak kecil tentu membuat kita waspada. Jangan sampai salah pilih ketika menitipkan anak di daycare atau memilih sekolah PAUD dan TK. Lihat dulu latar belakang yayasannya dan juga profil guru-gurunya. Sekarang kita bisa mencarinya dengan mudah di Google, jadi tahu apakah mereka itu termasuk dalam kelompok radikal atau tidak. Karena jika sudah terlanjur tentu membuat anak jadi kehilangan rasa nasionalisme dan malah jadi calon teroris. Sungguh mengerikan, bukan?
Ketika akan mendaftarkan anak ke TK atau PAUD, maka jangan hanya mengisi formulir lalu membayar uang pangkal dan SPP. Namun manfaatkan kelas trial, jadi Anda tahu apa yang diajarkan di sana. Jika memang tidak ada kelas percobaan seperti itu, cobalah melobi dan lihat proses pembelajaran selama beberapa hari. Telitilah setiap ruangan di dalam gedung TK atau PAUD tersebut. Biasanya jika milik yayasan kaum radikal, maka tidak ada pajangan burung garuda dan foto presiden beserta wakilnya, karena mereka tidak setuju dengan azas pancasila dan membenci pemerintahan saat ini.
Radikalisme sudah menyasar ke tingkat taman kanak-kanak dan kaum teroris memang mengincar bocah-bocah polos untuk jadi sasarannya. Anak-anak itu bisa diajari paham radikal dan diajak untuk menolak nasionalisme. Waspadalah ketika memilihkan TK, PAUD, atau penitipan anak, karena jika yayasannya adalah milik dari simpatisan ISIS atau kaum radikal, akan sangat berbahaya.
)* Penulis adalah Mahasiswa IISIP Jakarta