Mewaspadai Gerakan Terorisme dan Radikalisme
Oleh : Endah Ismai )*
Ledakan teror bisa muncul kapan saja, bahkan ancaman teror juga muncul dari aksi seseorang yang nekat menerobos pasukan pengamanan menteri hingga berhasil menusuk Menko Polhukam Wiranto. Penusukan tersebut menunjukkan situasi atas ancaman teror yang tidak terorganisir.
Meski polisi menyebut pelaku berafiliasi dengan kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD), namun peneliti Ketahanan Nasional Yulis Susilawaty mengatakan bahwa gerakan tersebut merupakan bentuk teror baru.
Teror bentuk baru tersebut bertujuan untuk mencuri perhatian masyarakat. Ketika kecenderungan masyarakat merasa tidak puas dengan berbagai kondisi saat ini, pelaku teror seperti Abu Rara tersebut memberi contoh tindakan yang brutal.
Kondisi ini cukup berbahaya. Biasanya pelaku teror ini masuk dalam kategori kelompok nothing to lose. Dirinya memiliki pikiran bahwa baik buruknya negara ini tidak memberi pengaruh apa-apa untuknya. Baginya radikalisme adalah bagian dari Jihad, meski harus melukai sesama manusia.
Sementara itu, penyebaran paham radikal terorisme tak melulu menyasar masyarakat biasa, pegawai lembaga negara, kementrian, bahkan aparat keamanan pun tak luput dari pengaruh paham destruktif ini.
Pastinya kita semua setuju bahwa tindak kekerasan dan aksi terorisme adalah hal yang dikutut oleh semua agama dan kemanusiaan.
Dalam konteks ke-indonesiaan, tindakan teror di rumah ibadah minoritas misalnya juga hal yang amatlah berbahaya, karena dampak jangka panjang di tingkat masyarakat. Tragedi kekerasan mengakibatkan renggangnya tali berbangsa yang susah payah direkatkan, menguatnya sikap saling membenci dan mencurigai, serta trauma yang dalam bahkan untuk melaksanakan hak konstitusi paling dasar, yakni menjalankan ritual agama di rumah ibadah masing-masing dengan damai tanpa rasa takut.
Direktur Pencegahan BNPT Brigadir Jenderal Hamli meminta masyarakat untuk mewaspadai beragam cara penyebarluasan paham radikal terorisme. Ia mencontohkan, cara tersebut seperti adanya kelompok tertentu yang menyalahgunakan forum pengajian untuk tujuan jahat. Namun bukan berarti semua tempat pengajian itu sarang akan radikalisme, namun faktanya memang ada kelompok yang menyalahgunakan forum tersebut.
Hamli mencontohkan, adanya sekelompok perempuan yang setelah mengikuti pengajian tertentu langsung berpandangan negatif terhadap kelompok lain, enggan berteman dan bahkan ada yang sampai berani mengkafir-kafirkan aparatur.
Selain itu Hamli juga berpesan kepada pemangku kepentingan di lingkungan kampus, untuk memberikan pengawasan terhadap jalannya pengajian-pengajian yang sifatnya tertutup. Hamli mendorong mahasiswa untuk berpikir kritis untuk menolak ajakan bergabung atau melakukan aksi terorisme, seperti ajakan belajar merakit bom misalnya
Mantan Napi terorisme, Kurnia Widodo pernah membenarkan apa yang disampaikan oleh Hamli, dimana lingkungkan kampus bisa saja ditemui adanya pengajian-pengajian dengan tujuan penyebarluasan paham radikal terorisme.
Ciri pengajian yang disalahgunakan untuk penyebarluasan paham radikal terorisme, menurut Kurnia, biasanya pengajian tersebut akan diisi oleh hal yang melenceng dari kaidah keagamaan umum. Misalnya demokrasi tidak sesuai syariat, dan perjuangan akan khilafah.
Tentu saja perlu kewaspadaan terhadap penyebaran radikalisme yang dapat menyasar masyarakat terutama mahasiswa baru di berbagai universitas.
Peran mahasiswa juga cukup besar dalam merawat keberagaman karena tantangan bangsa Indonesia ke depan yang paling besar adalah masalah intoleransi, radikalisme, terorisme dan dikaitkan dengan media sosial.
Apabila masyarakat khususnya mahasiswa tidak bisa mengelola media sosial dengan baik maka paham-paham tersebut akan masuk dan kemudian akan mempengaruhi generasi muda.
Kebhinekaan yang dimiliki bangsa Indonesia mulai dari suku, agama, budaya, bahasa dan sebagainya rentan dirusak oleh pihak yang tidak senang dengan NKRI.
Cendekiawan muslim Alwi Shihab menegaskan bahwa, penyebaran paham radikal haruslah diberantas dan tidak bisa dianggap enteng.
Alwi mengatakan tokoh-tokoh Islam radikal di Indonesia kerap memprovokasi masyarakat. Misalnya dengan menyebutkan bahwa pancasila merupakan ideologi yang bertentangan dengan syariat Islam.
Ia mengatakan, ulama Timur Tengah yang cukup diminati oleh kaum radikalisme bisa dilibatkan untuk menangkap penyebaran paham semacam itu. Alwi juga menegaskan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Dengan adanya akses media sosial yang semakin memanjakan penggunanya, radikalisme bisa saja menyasar orang yang tidak pernah ikut pengajian sekalipun, tentu kewaspadaan akan radikalisme dan terorisme harus dimulai dari diri sendiri dan lingkungan keluarga.
)* Penuilis adalah pengamat politik dan keamanan