Mewaspadai Konten Radikalisme Ancaman Keutuhan NKRI
Oleh : Ismail )*
Radikalisme masih menjadi ancaman NKRI selama bertahun-tahun. Penyebarannya pun semakin dinamis dengan tidak hanya mengandalkan tatap muka, namun juga melalui internet. Masyarakat dan Pemerintah pun diharapkan untuk tidak lengah dalam mengawasi konten radikalisme tersebut yang terbukti dapat mengancam keutuhan NKRI.
Pergerakan radikalisme kini dinilai makin mudah menjalari dengan beragam metode, termasuk memanfaatkan internet. Internet yang pada awalnya digunakan untuk memudahkan komunikasi dan pengiriman data digital sering disalahgunakan untuk misi terselubung kelompok radikal. Akibatnya, pengguna potensialnya begitu banyak berpotensi untuk disusupi aneka paham menyimpang.
Tercatat setidaknya ada 11.800 konten radikal yang teridentifikasi dan dilakukan takedown oleh kominfo. Jumlah tersebut mengalami peningkatan dari tahun 2018 yang mencapai 10.449 konten. Peningkatan ini menjadi keresahan bersama untuk segera diatasi.
Gubernur Federasi Mahasiswa Fakultas Teknik Unpas Raja Faisal mengungkapkan, gerakan radikalisme masih menjadi ancaman di 2020. Terutama melalui media sosial yang seringkali dimanfaatkan untuk menyampaikan pesan-pesan radikal sehingga menjadi doktrin untuk menggiring opini masyarakat.
Ia juga mengatakan, meningkatnya jumlah konten radikal di tahun 2019 tersebut dipengaruhi oleh sejumlah faktor, diantaranya komunikasi di media sosial telah mempercepat penyebaran paham radikal meningkat dan menjadi racun yang sulit mendapatkan penawar.
Karakter media sosial yang tanpa batas membuat penyebaran paham radikal semakin sulit dihalau. Media sosial juga bersifat borderless dan luas, partisipatif dengan peserta yang beragam, bersifat private dalam penggunaan dan setiap orang juga dapat dengan mudah untuk membuat pesan.
Percepatan konten radikalisme juga disebabkan oleh akselerasi pengguna internet yang meningkat. Dominasi situs-situs yang menampilkan hoaks dan konten bermuatan radikal juga masih tinggi.
Data menunjukkan bahwa situs-situs Ormas Islam Moderat besar, NU dan Suara Muhammadiyah masih belum mendominasi sebagai situs yang banyak dicari oleh warganet, kedua situs tersebut masih belum bisa mengungguli situs-situs Islam Konservatif yang dalam tanda kutip lebih mengarah pada paham radikal.
Jika kita mengutip definisi radikalisme dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) ciri-ciri radikalisme adalah paham yang menginginkan perubahan secara cepat dengan kekerasan, paham yang mendukung dalam menyebarkan dan mengajak menjadi anggota ISIS serta paham yang mendefinisikan jihad secara terbatas yang menjurus pada bentuk kekerasan untuk mewujudkannya.
Tentu saja dalam menanggulangi permasalahan ini, hal pertama yang harus ditingkatkan adalah pendidikan literasi dalam bermedia sosial. Sehingga para pengguna memiliki pengetahuan yang baik dalam mengonsumsi berita.
Ali Maksum selaku Sosiolog Universitas Brawijaya (UB) menyampaikan, terjadinya radikalisme di Indonesia disebabkan oleh faktor internal dan eksternal.
Faktor internal berupa agama, politik dan ekonomi. Sedangkan faktor eksternal disebabkan oleh kondisi politik global, arab springs dan geopolitik.
Tentu saja kita masih ingat, dimana penganut paham radikal amatlah frontal dalam penyelenggaraan Pemilu tahun 2019. Segala narasi tentang kehancuran negara karena memilih pemimpin tertentu juga masih sering terdengar.
Penyebaran konten radikal sebenarnya bisa dicegah dengan meneguhkan moderasi Islam di Indonesia, menanamkan jiwa nasionalisme, berpikiran terbuka dan toleransi, waspada terhadap provokasi dan hasutan, berjejaring dalam komunitas positif dan perdamaian serta menjalankan aktifitas keagamaan dengan toleran.
Paham radikal bahkan telah menyasar para ASN dimana semestinya abdi negara tersebut harus terbebas dari paham radikal, hal ini dikarenakan paham radikal tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kebangsaan dan kenegaraan.
Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin mengatakan, bahwa ASN harus memiliki komitmen kebangsaan yang kuat sehingga tidak terpengaruh paham yang dapat memecah belah persatuan bangsa.
Sebelumnya, pemerintah juga telah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 11 Menteri dan kepala badan tentang penanganan radikalisme pada aparatur sipil negara (ASN) sejak pertengahan November 2019.
Terdapat 6 menteri yang ikut serta di dalamnya, yaitu Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Komunikasi dan Informatika.
Salah satu poin yang tidak boleh dilanggar oleh para ASN adalah memberikan opini baik lisan maupun tulisan di media sosial yang bermuatan ujaran kebencian terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan Pemerintah.
Penanganan konten radikalisme ini bisa kita cegah dengan membentengi diri sendiri. Menumbuhkan nilai toleransi umat beragama. Serta menanamkan 4 pilar kebangsaan, yakni ; Pancasila, UUD 1945, NKRI, juga Bhineka Tunggal Ika. Jika pendidikan dasar bernegara telah dipahami dan disematkan dalam sanubari, bukan tak mungkin kita akan mampu menekan hingga memusnahkan pergerakkan radikalisme ini.
Tidak ada satupun dari kita yang bisa terbebas dari paparan paham radikal, sikap waspada amatlah diperlukan agar kita tidak terjebak oleh narasi-narasi yang mengarahkan kita menjadi bagian dari kelompok radikal.
)* Penulis adalah warganet, aktif dalam kajian Ikatan Pustaka Institute Jakarta