Mewaspadai Manuver KAMI Jelang Pilkada 2020
Oleh : Putu Prawira )*
Indonesia akan mengadakan pemilihan kepala daerah serentak, desember 2020. Namun acara ini terancam gagal karena provokasi KAMI. Mereka menuntut pemerintah untuk menunda pelaksanannya karena dikhawatirkan membuat klaster corona baru. Sontak pernyataan ini membuat masyarakat makin menolak KAMI.
KAMI menyatakan bahwa organisasi mereka ingin menyelamatkan Indonesia. Namun kenyataannya malah membuat pernyataan yang kontroversial. Misalnya mereka kukuh menganggap negeri ini dalam masa resesi. Masyarakat hanya menertawakannya karena buktnya keadaan ekonomi Indonesia masih aman, bahkan banyak yang membeli barang branded.
Pernyataan kontroversial lain yang keluar dari mulut anggota KAMI adalah tuntutan agar pemerintah menunda pemilihan kepala daerah serentak. Nantinya jika keadaan sudah aman, barulah dilaksanakan pencoblosan. Alasannya karena saat ini masih masa pandemi sehingga harus prihatin.
KAMI juga menyuruh pemerintah untuk melindungi rakyat dari kemungkinan terbentuknya klaster corona saat pilkada. Terlebih saat ini makin banyak pasien covid-19. Oleh karena itu, KPU dan pemerintah harus mengutamakan rakyat daripada mengadakan acara pemilihan kepala daerah.
Politisi Ferdinand Hutahean menyatakan bahwa tuntutan KAMI menunjukkan kemunafikan mereka. Mereka tidak jujur dan lupa berkaca. Padahal saat deklarasi tanggal 18 agustus lalu, dan acara deklarasi KAMI di daerah, ada kerumunan massa yang juga berpotensi menyebabkan klaster corona.
Tuntutan KAMI agar pilkada ditunda tentu bagaikan ungkapan ’kuman di sebrang lautan tampak tapi gajah di pelupuk mata tidak terlihat’. Mereka hanya bisa menuntut pemerintah, tapi tak menyadari kesalahan sendiri. Seharusnya sebagai tokoh senior, mereka tahu diri dan melakukan evaluasi, sebelum meracau dan mengkambinghitamkan pihak lain.
Apalagi saat ini proses jelang pencoblosan sudah berjalan. Para calon kepala daerah sudah mendaftarkan diri ke KPU dan akan ancang-ancang menjaring calon pemilih. Jika pilkada ditunda, akan merusak jadwal yang sudah ditata baik-baik. Lagipula, tanggal pencoblosan sebenarnya sudah ditunda dari rencana awal karena pandemi, jangan diundur lagi karena mengacaukannya.
Masyarakat makin menolak keberadaan KAMI karena mereka seenaknya melontarkan pernyataan dan lupa akan kesalahan fatal yang telah dilakukan. Modus mereka adalah menyelamatkan rakyat dari corona, tapi hanya bisa ngomong dan menyuruh pemerintah. Jika KAMI serius, maka seharusnya mereka mau jadi relawan vaksin covid-19 dan disuntik satu per satu.
Lagipula, saat pilkada juga sesuai dengan protokol. Para calon kepala daerah mendaftar ke KPU dengan memakai masker, serta menaati aturan kesehatan lain. Mereka juga melakukan kampanye secara online di media sosial, agar menghindarkan diri dari kerumunan massa. Karena sadar bahwa calon pemimpin adalah teladan, sehingga harus menaati aturan jaga jarak.
Saat pilkada juga diatur jarak kursi antar pencoblos. Mereka juga wajib pakai masker dan disediakan tempat untuk cuci tangan. Semua ini dilakukan agar meminimalisir resiko penularan corona saat acara pemilihan umum kepala daerah. Sehingga usai acara tidak terbentuk klaster baru.
KAMI selalu memutarbalikkan fakta dan menyulut emosi masyarakat agar menggagalkan pilkada. Jika tuntutan untuk menunda pemilihan kepala daerah ditolak mentah-mentah oleh KPU, maka mereka bisa saja menyuruh masyarakat untuk golput. Dengan alasan karena pemerintah tidak menyelamatkan rakyat, padahal pilkada sudah sesuai dengan protokol kesehatan.
Jangan mau terprovokasi oleh bujukan KAMI karena mereka selalu menyalahkan pemerintah. Bagaimana bisa menyelamatkan Indonesia jika bersikap munafik, menuntut ditundanya pilkada dengan alasan masih pandemi. Namun KAMI seenaknya mengundang ratusan orang saat deklarasi dan berpotensi menyebarkan corona.
Seharusnya tiap anggota KAMI melakukan evaluasi, mengapa selalu ada penolakan dari rakyat? Mereka lupa bahwa sekarang warga negara Indonesia sudah melek politik dan tidak bisa dibujuk dengan janji palsu. KAMI yang hanya bisa menuntut pemerintah, selalu dianggap angin lalu oleh masyarakat.
)* Penulis aktif dalam Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini