Mewaspadai Manuver Kelompok Radikal
Oleh : Zakaria )*
Setelah genderang reformasi menggantikan rezim orde baru, semua orang tampak bebas menyuarakan segala pemikirannya, namun hal ini ternyata dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk berusaha merong-rong pancasila dengan ideologi radikal. Masyarakat pun diimbau untuk mewaspadai manuver kelompok radikal di Indonesia yang terus mencari simpati publik.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil Siradj, mengungkapkan empat macam aliran radikal yang masuk ke Indonesia sejak tahun 80-an.
Pertama yakni Wahabi, aliran ini menurut Said, masuk secara perlahan sejak tahun 80-an dengan teologinya yang radikal, tetapi tidak dengan tindakannya.
Kelompok ini menilai perayaan Isra’ Mi’raj adalah bid’ah, Maulid Nabi SAW bid’ah dan ziarah kubur adalah hal yang musrik. Tapi, kelompok ini menyampaikan hal yang dianggap bid’ah secara santun tanpa adanya caci maki.
Kedua, Salafi. Aliran ini datang dari Yaman, Said mengatakan aliran ini lebih keras daripada Wahabi karena mulai menggunakan caci maki. Kelompok yang mengikuti aliran ini berkeinginan melaksanakan purifikasi ajaran Islam.
Ketiga, Jihadi. Aliran ini lebih radikal dan bahkan termasuk dalam golongan ekstrem apabila dibandingkan dengan 2 aliran sebelumnya. Hal ini dikarenakan kaum Jihadi menghalalkan membunuh non-muslim dan menghancurkan tempat ibadahnya.
Keempat, Takfiri, menurut Said, Takfiri merupakan puncak yang sempurna dari paham radikal. Aliran yang dibentuk pada tahun 1969 di Mesir oleh Syukri Ahmad Mustofa tersebut menganggap bahwa semua orang kafir, kecuali mereka saja yang tidak kafir. Mereka yang membunuh Presiden Mesir Anwar Saddad pada 3 Oktober 1981, membunuh Menteri Agama Mesir Syekh Husein dan membunuh Wartawan Yusuf.
Kelompok Takfiri ini sebenarnya sudah dihabisi oleh Presiden Mesir Hosni Mubarak, tapi banyak yang berhasil kabur ke semenanjung sinai. Mereka bersembunyi di gua-gua dan lembah-lembah.
Alhasil, pengikut aliran Takfiri ini kembali melancarkan aksinya sekitar setengah tahun yang lalu. Mereka meledakkan bom ketika sedang shalat Jumat dan menewaskan 380 orang.
Kelompok takfiri yang ada di Indonesia juga sama dengan tempat asalnya, dimana kelompok tersebut menganggap bahwa semua orang, kecuali mereka adalah kafir, Bahkan NU dan Muhammadiyah juga dianggap kafir.
Hal ini dikarenakan, mereka menganggap bahwa NU dan Muhammadiyah tidak Islam. Mendukung Pancasila dan UUD 45 itu thagut dan berhala bagi mereka.
Mereka juga menjadikan produk hukum Indonesia sebagai alasan mengkafirkan. Sebab, menurut mereka, memakai hukum dari hasil olah pikir manusia adalah tindakan kafir.
Sementara itu, paham radikal juga masuk di ranah pendidikan seperti kampus. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengungkapkan tidak terdapat satu kampus pun di Indonesia yang mempunyai imunitas atau kekebalan terhadap paham radikal maupun terorisme. Mereka rentan terpengaruh sebab paham tersebut terus bergerak melakukan propaganda.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengungkapkan bahwa IPB merupakan salah satu kampus yang terpapar radikalisme. Bersama dengan 6 perguruan tinggi negeri (PTN) lainnya, IPB dinilai rawan akan penyebaran paham radikal.
Secara Historis, gerakan – gerakan pemikiran keagamaan radikal yang bersifat transnasional telah berkembang semenjak 3 dekade terakhir di Kota Bogor.
Pasca Orde baru, gerakan radikalisme semakin terbuka dan menyasar ke kampus – kampus, sebagai basis penyebaran indoktrinasi di kalangan akademisi dan mahasiswa tentang pemahaman agama yang sempit.
Gerakan mereka berawal dari kelompok pengajian dengan tutor – tutor dari kalangan mereka baik dari kalangan dosen maupun mahasiswa senior.
Tidak sampai disitu saja, ternyata gerakan mereka juga menguasai mayoritas organisasi kemahasiswaan seperti BEM, Himpro, serta Organisasi lainnya.
Kasubdit Kontra Propaganda Direktorat Pencegahan Deputi I BNPT Kolonel Pas Sujatmiko mengatakan, semua kampus memiliki kesempatan yang sama untuk terpengaruh terhadap rekrutmen untuk menjadi kelompok radikal.
Menurutnya, agar kampus-kampus di Indonesia tidak terpengaruh paham radikal, maka harus ditekankan nilai-nilai kebangsaan kepada civitas akademik. Serta selalu waspada terhadap ancaman tersebut.
Nilai kebangsaan tentu saja bisa disisipkan ketika masa orientasi mahasiswa, ataupun ketika perkuliahan dengan melibatkan sektor internal seperti dosen atau sektor eksternal seperti TNI dan Polri.
Paham radikal telah mengetahui dimana celah masuk untuk menyebarkan doktrin yang merong-rong pancasila, sikap waspada tentu harus dijaga apabila ada kelompok yang mengajak untuk tidak patuh terhadap pancasila.
)* Penulis adalah Mahasiswa IAIN Kendari