Mewaspadai Penyebaran Radikalisme di Ruang Virtual
Oleh : Raavi Ramadhan)*
Radikalisme bisa menyebar dari mana saja, termasuk dari sesuatu yang tak terlihat yakni dunia maya. Sebagai sebuah ruang virtual baru, dunia maya rentan mempengaruhi penggunanya karena orang-orang tidak perlu hadir secara langsung untuk terpapar paham radikal.
Paham radikal ini hadir dengan narasi yang lembut, ideologi ini menyasar kepada orang-orang yang sudah terlampau kecewa dengan pemerintah ataupun sistem demokrasi di Indonesia yang sudah lama diperjuangkan.
Tujuan dari paham radikal ini-pun sudah jelas, yakni munculnya perubahan drastis sampai pendirian negara baru. Untuk mencapai tujuan ini, kaum radikal tidak segan menggunakan cara-cara kekerasan, seperti teror rumah ibadah atau melukai pejabat secara sengaja. Singkatnya, paham radikal ini menolerir segala bentuk kekerasan untuk mencapai suatu tujuan.
Jika sudah seperti ini, tentu sudah jelas bahwa NKRI harus steril dari paham radikal sampai akar-akarnya.
Apalagi jika paham radikal ini tetap bergerak untuk mengganti Pancasila dengan ideologi berbasis agama. Padahal sudah sejak lama Pancasila menjadi ideologi negara yang mampu menyatukan masyarakat Indonesia yang beragam suku, bangsa dan agama.
Jika akar radikalisme masih dibiarkan, tentu dampaknya akan semakin berbahaya. Permusuhan, intoleransi hingga kebencian sesama manusia bisa muncul hanya karena perbedaan.
Jika dipandang dalam konteks keindonesiaan, ideologi dan dasar negara Pancasila tentu sudah final berdasarkan kesepakatan para pendiri negara. Dimana 7 diantaranya merupakan tokoh muslim dari organisasi – organisasi Islam arus Utama, termasuk NU dan Muhammadiyah.
Tentu saja ideologi dasar negara ini telah menjadi kesepakatan banyak pihak, sehingga tidak ada satupun yang dapat merusak apalagi mengganti ideologi negara dengan ideologi apapun, apalagi dengan ideologi khilafah yang bertentangan dengan nilai dasar pancasila.
Secara spesifik, yang menjadi ciri khas kelompok radikal ini adalah pemahaman yang formalistis, patuh ritual tetapi kurang ukhuwah.
Mereka sangat patuh kepada teks formal al-Qur’an dan Hadist. Mereka hampir tidak dapat menangkap yang tersirat. Mereka mengambil hanya apa yang tersurat.
Kita pun kini tersadar bahwa budaya Islam ala Arab Konservatif telah menghampiri Indonesia dengan masifnya. Para simpatisan kelompok seperti wahabisme juga semakin liar dalam mengkampanyekan teologi ketauhidan yang berpandangan orang maksiat saja sudah dianggap kafir.
Ideologi Pancasila menolak semua paham radikalisme dan terorisme. Kedua paham ideologi ini terbukti membahayakan negara Indonesia dan banyak negara lainnya. Hal ini dikarenakan radikalisme merupakan paham yang mengesahkan ketegaan dan kekerasan.
Padahal Indonesia sendiri terkenal sebagai bangsa yang ramah dan murah senyum. Jika radikalisme masih muncul, tentu saja image Indonesia yang ramah akan sirna di mata dunia.
Meski pemerintah telah membubarkan ormas radikal seperti HTI, namun residu ideologi mereka masih ada hingga sekarang. Mereka pun menyusup dalam aksi unjuk rasa berjilid-jilid.
Parahnya, paham radikal juga bisa merasuk kepada aparatur sipil negara yang semestinya menjadi teladan bagi masyarakat akan kesetiaan pada pancasila dan NKRI.
Hal ini terbukti saat ditemukannya oknum Polwan yang terpapar paham radikal dan telah mangkir dari dinasnya selama beberapa hari demi menghadiri sebuah acara di lain pulau.
Pada hakikatnya, manusia selalu mengidamkan keamanan, keselamatan dan ketentraman. Oleh karena itu Islam diturunkan sebagai rahmat seluruh alam. Bukan sebagai kelompok yang gemar mengkritisi kebijakan pemerintah namun juga mengajak mengajak kaumnya untuk membenci sesama umat manusia, meski memiliki keyakinan yang berbeda.
Secara spesifik, yang menjadi ciri khas kelompok radikal ini adalah pemahaman yang formalistis, patuh ritual tetapi kurang ukhuwah.
Mereka sangat patuh kepada teks formal al-Qur’an dan Hadist. Mereka hampir tidak dapat menangkap yang tersirat. Mereka mengambil hanya apa yang tersurat.
Disinilah mereka terkadang mereka menjadikan ayat-ayat sebagai perlawanan untuk membenci sesama manusia. Padahal sudah jelas bahwa Islam adalah agama yang mencintai kedamaian, bukan membenci akan perbedaan.
Kita pun harus senantiasa mengingat bahwa kita hidup di Indonesia, negeri yang terdiri dari keberagaman. Jika kita tidak bersikap toleran dan berpikir terbuka, maka akar-akar radikalisme pun dapat dengan leluasa mempengaruhi pikiran kita.
Jika tujuan radikalisme adalah ingin mengganti ideologi pancasila, tentu hanya ada satu cara, yakni tetap berpegang teguh pada pancasila sebagai ideologi bangsa.
)* Penulis adalah mahasiswa Universitas Pakuan Bogor