Mewaspadai Penyebaran Radikalisme Manfaatkan Pandemi Covid-19
Oleh : Aulia Hawa )*
Kendati dunia sedang dilanda wabah yang merenggut ribuan nyawa, penyebaran radikalisme disinyalir belum berhenti. Kelompok radikal dan anti Pemerintah tersebut disinyalir memanfaatkan Pandemi Covid-19 untuk menyebarkan pengaruh mereka, guna merongrong kewibawaan negara.
Wabah Covid-19 yang telah menyerang sejak beberapa waktu lalu telah memicu banyaknya korban jiwa. Selain menimbulkan dampak kesehatan, Pandemi Covid-19 juga berimplikasi pada carut marutnya sektor ekonomi kerakyatan. Apalagi setelah penerapan Pembatasan sosial Berskala Besar (PSBB) yang secara berkala memasung kebebasan untuk berusaha.
Pentingnya asupan pangan, sandang juga kebutuhan lain kini memang tengah dinantikan. Pemerintah bukan tinggal diam, pemerintah perlu merencanakan secara matang, apa-apa yang harus dilakukan saat ini. Termasuk memberikan stimulus bagi rakyatnya. Namun, di sisi lain paham radikali tidak ubahnya seperti begal yang selalu siap memanfaatkan situasi. Mereka selalu tahu kapan menyemburkan apinya untuk mendapatkan mangsanya. Melambungkan propaganda untuk menggerus kepercayaan publik terhadap pemerintah. Menurunnya kepercayaan inilah yang nantinya bakal digunakan untuk semakin menggaet mangsanya. tujuannya ialah menciptakan situasi chaos di masyarakat dan menjatuhkan Pemerintahan.
Radikalisme seperti bunglon, dia dapat berubah sesuai tempat yang ia hinggapi. Kelompok radikal mampu berkamuflase hingga banyak orang yang tertipu. Apalagi jika sudah diembel-embeli agama. Sudah dijamin akan banyak yang terjerat rayuan mereka. Seperti sihir, apapun yang dikatakan selalu mampu membelenggu pikiran. Terlebih, kecanggihan teknologi sekarang ini seperti tanpa batas. Siapapun, kapanpun, di manapun dapat dengan mudah mengakses jejaring sosial yang ditengarai minim filter.
Belum lagi fakta bahwa pengguna jejaring sosial ini adalah anak muda, kaum milenial bahkan termasuk anak di bawah umur. Tanpa sadar ketika radikalisme menyusupi semua sudah terlambat ditangani. Masih ingat ISIS? Yang eks simpatisannya ingin pulang kampung ke Indonesia. Keinginan tersebut sungguh menggelikan karena sebelumnya mereka mantap menempuh jalan menuju kota ISIS beroperasi. Lupa negara, hingga sempat bakar paspor segala.
Tak hanya orang dewasa saja, anak-anak juga bahkan ikut serta bersama orang tua mereka.. Umur sebelia itu sudah sangat mengerti bagaimana teroris beraksi. Pasalnya, anak-anak tersebut setiap hari dijejali doktrin-doktrin menyimpang. Provokasi-provokasi yang merugikan terus ditanamkan hingga mereka cukup tangguh untuk meneruskan perjuangan ISIS. Tapi, ketika organisasi ini mengalami kekalahan, eks simpatisan ISIS memohon pemerintah untuk mengembalikan mereka pulang ke kampung halamannya di Nusantara.
Sebetulnya bukan perkara kasihan atau hak asasi. Tapi lebih pada pengaruh yang akan mereka bawa ke Indonesia nantinya. Tidak disangkal jika kecemasan akan tujuan mengumpulkan kekuatan mereka kembali ke Indonesia bisa saja direalisasikan. Apalagi, mereka tega menggunakan anak-anak sebagai senjata untuk mendapatkan perhatian dunia.
Pemerintah sebetulnya tak kurang-kurang memberikan aneka imbauan, sosialisasi di offline maupun online. Agar selalu waspada akan pergerakan radikalisme ini. Termasuk mendalami Pancasila yang mana telah mencakup segala sektor kepemerintahan dan juga kerakyatan. Intinya, para kaum radikalis ini hanya memanfaatkan kita untuk mendukung aksi mereka. Setelah tak berguna mereka bakalan lepas begitu saja. Seperti eks Simpatisan ISIS tersebut diatas.
Bahkan, Umar Patek mantan teroris kelas kakap pelaku bom Bali menyatakan agar generasi penerus bangsa wajib Waspada. Jangan mau termakan rayuan maut pelaku radikalisme. Pasalnya, kini radikalisme tumbuh kian pesat seiring berkembangnya teknologi. Mereka pandai membobol atau meretas data. Mencuri kemudian memanfaatkannya untuk kepentingan mereka.
Jika tak dari sekarang aware serta berbenah diri, maka siap-siap akan merugi! Konten-konten jejaring sosial kini wajib diwaspadai. Jangan sampai niat hati untuk menambah informasi justru terjerumus kedalam hoax radikalisme yang menyesatkan. Upaya deradikalisasi oleh pemerintah kiranya memang dapat membantu. Namun alangkah lebih baik menerapkan benteng pelindung dengan beragam kegiatan positif. Termasuk ikut menyebarkan konten kebaikan, mengembangkan toleransi, serta mengaplikasikannya pada kehidupan sehari-hari.
Kebiasaan-kebisaan kecil yang dilakukan memang tampak sepele. Namun, membutuhkan intensitas serta niat yang besar. Agar menjadi pribadi yang positif, bijaksana menyaring juga menggunakan media sosial agar, tak berdampak pada munculnya peluang untuk disusupi oleh kaum radikalis Karena dimana pun kita berada pelaku radikalisme akan terus berusaha menyapa.
)* Penulis adalah warganet tinggal di Tangerang