Mewaspadai Politisasi Agama di Tahun Politik
Oleh : Ricky Renaldi )*
Gerakan politik berpotensi muncul apabila terdapat gerakan massa, tidak hanya dalam gerakan jalan sehat ataupun dangdut hokya – hokya, bahkan gerakan politik bernuansa agama juga bisa muncul di tempat ibadah seperti masjid.
Tentu umat muslim sangat disarankan untuk menunaikan sholat shubuh berjamaah di masjd. Hingga muncul gerakan shubuh berjamaah di masjid, namun sayangnya gerakan ini juga disinyalir sebagai sarana politisasi yang untuk menggiring opini publik untuk menyukseskan salah satu calon pemimpin
Gerakan Sholat shubuh sejatinya merupakan simbol dari persatuan umat, namun gerakan ini juga harus tulus dan tidak dipolitisasi oleh golongan manapun, karena upaya politisasi di tempat ibadah justru dapat memecah umat, hal ini dikarenakan jamaah yang berada di masjid tentu memiliki pandangan politik yang berbeda.
Indikasi akan adanya politisasi gerakan sholat shubuh, bisa dilihat dari isi ceramahnya, baik kultum maupun khutbah yang menggiring opini publik pada kepentingan politik tertentu. Bisa jadi hal ini disampaikan secara lantang terang – terangan maupun eksplisit. Hal ini tentu mengkhawatirkan, karena jika dibiarkan maka masjid akan kehilangan identitasnya sebagai tempat ibadah dan berkomunikasi dengan Tuhan.
Kegiatan ibadah seperti sholat berjamaah bukan hanya “tindakan ibadah” semata, tetapi juga dapat disebut sebagai “gerakan politik” apabila dilakukan dengan motif dan tujuan politik tertentu.
Dampak dari gerakan politisasi sholat shubuh berjamaah tersebut, sifat sholat juga tak bisa dipandang sebagai gerakan murni ibadah. Adanya embel – embel gerakan bela islam, tentu menjadikan gerakan ini layak disebut sebagai gerakan politisasi ibadah.
Harus diakui bahwasanya gerakan mempolitisasi tempat ibadah merupakan cara jitu untuk menambah pundi – pundi elektabilitas. Lazimnya para jamaah akan menuruti apapun yang diinstruksikan oleh kyai yang bersangkutan. Dalam hal strategi kampanye, tentu jamaah masjid merupakan salah satu segmen pemilih yang menjadi sasaran empuk para politikus.
Tempat ibadah seperti masjid adalah potensi yang dilirik oleh politikus yang gila akan jabatan. Mereka memanfaatkan kedatangan jamaah yang datang secara Cuma – Cuma, agar jumlah massa yang terkumpul di masjid bisa dijadikan obyek politik untuk memuaskan hasrat kuasanya.
Menkominfo Rudiantara menuturkan dalam keterangannya, bahwa tempat Ibadah seperti Masjid tidak diperbolehkan untuk dijadikan tempat menyampaikan pesan yang bertujuan untuk kepentingan politik praktis.
Regulasi terkait larangan kampanye ditempat atau rumah ibadah, sebenarnya telah tertuang dalam Undang – undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah dimana dalam peraturan tersebut tertulis “kampanye dilarang menggunakan tempat ibadah dan pendidikan”.
Hal tersebut tentu patut disadari oleh berbagai aktifis politik yang masih tergila – gila akan perolehan suara, karena bagaimanapun juga masih banyak cara kampanye elegan yang tidak melanggar aturan yang sudah ditetapkan.
Selain di masjid, upaya politisasi agama juga terjadi pada Reuni 212, meski pada awalnya gerakan ini ditujukan untuk membela Islam, namun reuni bertajuk Tabligh Akbar Peserta Alumni 212 di Solo ternyata telah mencoreng esensi dari gerakan 212, yang awalnya niat dari gerakan tersebut adalah murni pengajian dan konsolidasi alumni 212.
Namun fakta telah berkata lain, dimana ada sebuah sesi para peserta aksi melontarkan kalimat coblos nomor 2, dengan bendera tauhid yang mereka arak. Kegiatan macam ini nyatanya bukanlah kegiatan seperti aksi damai pada umumnya, namun lebih tepatnya disebut sebagai gerakan politis, hal ini disebabkan sejumlah tokoh melontarkan sindiran kepada pemerintahan Jokowi.
Ada juga yang lantang meneriakkan nyanyian “ada yang takut diganti” lalu salah satu peserta aksi juga bertanya “2019 siapakah benderanya?” lantas seluruh peserta aksi massa tersebut berteriak nama “Prabowo”. Dari cerita tersebut tentu menguatkan asumsi bahwa tabligh akbar PA 212 yang dilaksanakan di Solo, merupakan gerakan politik yang menunggang kegiatan agama.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) kota Solo juga turut mengantisipasi pelanggaran pemilu saat acara tabligh akbar PA 212. Pihaknya tak bosan – bosannya untuk terus menyampaikan himbauan secara lisan dan tertulis agar dalam acara tersebut tidak memasang atribut kampanye.
Tampaknya sulit untuk menilai bahwa kegiatan reuni 212 di Solo sebagai gerakan untuk mengenang aksi 212 pada Desember 2016. Apabila acara tersebut murni reuni, tentu dapat diketahui setelah acara berakhir. Sedangkan acara yang terjadi seperti tabligh akbar di Solo, justru tampak terlihat sebagai gerakan yang menggiring publik untuk mengarahkan massa pada capres nomor 2.
Pelanggaran yang dilakukan oleh PA 212 di Solo tentu memberikan early warning yang sangat berbahaya. Gerakan tersebut telah menunjukkan akan adanya kelompok yang berani untuk tidak mematuhi aturan negara, hal ini tentu sangatlah berpotensi mengganggu stabilitas keamanan negara.
Dalam hal ini masyarakat tentu harus bisa memilih, mana kegiatan yang sekiranya murni kegiatan keagamaan, bukan kegiatan yang terbungkus dalam aroma politik demi kepentingan golongan tertentu.
Sebagai umat beragama tentu kita harus memiliki kearifan agar pesan – pesan Agama yang disampaikan tidak justru digunakan sebagai alat untuk kepentingan politik pragmatisnya.
Menggunakan agama sebagai alat politik praktis tentu akan mengancam persatuan umat beragama yang majemuk di Indonesiia. Dan pastinya menyalahi esensi agama yang menyatukan dan memanusiakan manusia.
Kelompok atau individu yang baru bicara agama ketika ada momen politik adalah kelompok pragmatis yang sengaja memanfaatkan agama untuk kepentingan politik semata.
Bagaimanapun juga agama dan politik tidak dapat dipisahkan, sebab politik adalah bagian integratif dari ajaran agama islam. Meskipun demikian Islam jelas tidak membenarkan akan adanya politisasi agama
)* Penulis adalah Pengamat Politik