Mewaspadai Potensi Teror Jelang Natal Dan Tahun Baru 2020
Oleh : Rahmat Kurniawan )*
Peristiwa teror bom di Mapolrestabes Medan menimbulkan kekhawatiran tentang situasi jelang akhir tahun. Hal ini cukup beralasan mengingat di akhir tahun terdapat Hari Besar Keagamaan, yakni Natal dan selebrasi masyarakat jelang momentum pergantian tahun baru. Masyarakat dan pihak keamanan diharapkan saling bersinergi untuk ikut mewaspadai potensi teror yang dapat terulang kembali.
Perayaan Natal di Indonesia selalu mendapatkan perhatian khusus bagi aparat kepolisian untuk tetap waspada akan potensi teror yang mungkin terjadi. Ancaman selama Natal antara lain pelarangan tempat umum untuk beribadah, ancaman sabotase, ledakan petasan yang mengganggu ibadah dan yang paling parah adalah teror bom.
Aksi terorisme diakui tetap menjadi ancaman utama dalam pengamanan Natal dan Pergantian tahun.
Satgas Antiteror juga telah dibentuk di tiap Polda, Pencegahan atas terjadinya aksi terorisme juga lebih mudah setelah pemerintah mengesahkan undang-undang nomor 5 Tahun 2018 tentang pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Polri dapat mengambil tindakan tanpa harus menunggu pidananya terjadi.
Pada Kesempatan berbeda, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengatakan, bahwa ancaman keamanan begitu mudah terjadi seiring berkembangnya revolusi industri 4.0.
Menurutnya, ada 3 sifat ancaman pada masa revolusi industri ini, yang pertama yaitu eskalatif, ancaman yang tiba-tiba muncul dengan begitu besar.
Kedua, adalah ancaman yang dapat bergabung bahkan kadang-kadang bisa menjadi 2 dan 3 bentuk.
Ketiga, adalah ancaman dengan tempo yang singkat, dimana kita tidak dapat membayangkan tiba-tiba hal yang mengancam keamanan bisa tiba-tiba terjadi seperti bom bunuh diri.
Dalam mewaspadai Potensi teror menjelang Natal dan Tahun Baru, tentu saja memerlukan sinergitas antara TNI, Polri, Forkopimda dan Pemerintah Daerah.
Ancaman teror jelang perayaan Natal merupakan lagu lama yang kerap didengar hampir setiap tahun, lantas mengapa para teroris gemar menyerang gereja.
Mantan pentolan Jamaah Islamiyah (JI) yang juga merupakan adik kandung sang Trio Bomber Bali, pernah mengungkapkan bahwa insiden bom yang meledak di 3 gereja di Surabaya adalah bagian dari balas dendam terkait dengan peristiwa di Mako Brimob.
Beredarnya rekaman video di instagram, yang menunjukkan bagaimana seorang anggota polisi menyuapi makanan ketika kedua tangan para napiter diborgol dalam bus perjalanan menuju Nusakambangan. Menurutnya, hal tersebut menjadi penyulut kemarahan mereka yang sejalan dengan para napi teroris.
Artinya, jika kelompok teroris mendapat tekanan, maka yang dibawah akan bergerak. Diketahui saat itu pelaku bom bunuh diri di 3 Gereja di Surabaya adalah satu keluarga. Mereka adalah DS dan Istrinya PK beserta keempat anaknya.
Tito Karnavian yang saat itu menjabat sebagai Kapolri menyampaikan bahwa pelaku merupakan anggota jemaah JAD. Dimana kelompok tersebut tak lain adalah sel jaringan yang berafiliasi dengan ISIS.
Diketahui Dita merupakan ketua Jaringan Ansharut Daulah (JAD) Surabaya. Pimpinan mereka adalah Abdurahman yang pada saat itu ditahan di Mako Brimob.
Indonesia juga memiliki sejarah kelam tentang aksi teror bom yang meledak serentak di sejumlah gereja di Indonesia saat bersamaan berlangsung Misa Natal pada 24 Desember 2000 silam.
Ledakan tersebut terjadi di Medan, Pematang Siantar, Batam, Pekanbaru, Jakarta, Bekasi, Sukabumi, Bandung, Pangandaran, Kudus, Mojokerto dan Mataram.
Di Jakarta, bom menghajar 4 gereja dan satu sekolah, yaitu Gereja Katedral, Gereja Matraman, Gereja Koinonia Jatinegara dan Sekolah Kanisius Menteng Raya.
Sementara di Kudus, ledakan terjadi di Gereja Santo Yohanes Evangelis di Jalan Sunan Muria 6. Di Bandung, bom meledak di Pertokoan jalan cicadas dan di Jalan Terusan Jakarta 43.
Sedangkan di Mojokerto, serangan ledakan Bom terjadi di Gereja Allah Baik, Gereja Santo Yosef, Gereja Bethany dan Gereja Eben Haezer.
Kenangan kelam tersebut tentu saja membuat kita harus tetap waspada akan berbagai serangan yang bisa saja terjadi kapanpun. Bahkan belum lama ini ledakan Bom juga terjadi di Mapolresta Medan saat jam pelayanan dimulai.
Motif balas dendam yang dilakukan oleh teroris tentu saja tidak masuk akal, ledakan bom tersebut tentu saja mengancam keamanan orang-orang yang tidak bersalah.
Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan bahwa bom bunuh diri yang terjadi di Mapolresta Medan tersebut merupakan satu dari 3 tingkatan radikalisme yang berbentuk teror. Pertama menganggap orang lain musuh, kedua melakukan pengeboman teror, lalu yang ketiga adalah adu wacana tentang ideologi.
Atas segala rangkaian peristiwa tersebut, menunjukkan bahwa potensi teror jelang perayaan natal sangatlah mungkin terjadi. Sehingga dibutuhkan sinergitas bersama untuk mencegah terjadinya aksi teror pada saat merayakan hari besar keagamaan.
)* Penulis adalah pengamat sosial politik