Mewaspadai Propaganda Radikal Targetkan Anak-anak
Oleh : Reza Pahlevi )*
Paham radikal memang harus diwaspadai, paham tersebut tidak hanya menyasar kalangan terdidik atau anak muda di perkuliahan, tetapi juga berpotensi menyasar anak-anak. Pada tahun 2018 lalu, Indonesia dikejutkan dengan keterlibatan anak-anak dalam kasus bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya.
Keterlibatan anak-anak dalam aksi terorisme tersebut telah mengkhawatirkan banyak pihak. Betapa anak yang bisa diibaratkan seperti kertas putih, terpaksa mengikuti jejak orang tuanya untuk menebar teror di rumah ibadah.
Oleh karena itu, orang tua pun wajib mewaspadai dan meneliti secara detail sebelum memeutuskan untuk menitipkan anaknya menempuh pendidikan pra sekolah atau dasar.
Kita-pun dapat dengan mudah mengenali ciri-ciri sekolah yang sudah terpapar radikalisme, salah satunya adalah tidak pernah diadakannya upacara bendera walau hanya satu kali dalam setahun. Para murid juga tidak pernah diajak menyanyikan lagu Indonesia Raya dan lagu-lagu nasional lainnya.
Masuknya radikalisme di kalangan pelajar antara lain dipengaruhi oleh guru atau pengajar yang berafiliasi atau bersimpati terhadap organisasi yang berkeinginan mengganti Pancasila dengan ideologi transnasional. Kelak hal tersebut akan mengarahkan anak-anak untuk mendukung paham khilafah.
Anak memang menjadi obyek yang sangat mudah terpapar paham radikal, karena anak sangat mudah menyerap doktrin. Selain itu, anak cenderung lebih loyal dari orang dewasa sehingga mudah untuk menjadi radikal.
Selain pengaruh dari guru, radikalisme yang menyasar kalangan anak-anak juga terjadi akibat derasnya arus informasi yang beredar di media sosial dan internet. Apalagi saat ini banyak orang mencari ilmu agama melalui gawainya. Alhasil, banyak yang menjadi sesat karena tidak mengetahui asal-muasal, dalil dan sumber informasi tersebut.
Banyak faktor yang membuat anak rentan terjangkit radikalisme. Namun yang utama adalah faktor keluarga dan institusi pendidikan. Ini menjadi bukti banyak anak-anak yang terpapar radikalisme melalui online dan institusi seperti kasus bom bunuh diri di Surabaya dan Sibolga, juga anak-anak yang terdapat dalam video propaganda ISIS yang tersebar di media sosial seperti Youtube.
Tidak dipungkiri Media Sosial menjadi salah satu alat penyebaran paham radikal yang sangat luar biasa. Anak-anak ketika mendapat informasi radikal biasanya akan merasa penasaran dan jarang merasa takut. Rasa penasaran inilah yang dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk menggiring mereka mengakses informasi yang sudah dirancang melalui medsos.
Oleh karena itu tidak ada alasan bagi orang tua untuk gaptek terhadap aktifitas medsos yang digemari anak-anak. Meski tidak secanggih anak-anak dalam mengoperasikan gawai, orang tua harus tetap terlibat dalam mengontrol anak-anak agar tetap berada dalam akses internet yang positif.
Untuk mengetahui ciri-ciri anak terpapar radikalisme tentu tidaklah mudah. Namun biasanya, dengan penampilan mereka bisa lebih mudah mendeteksinya. Biasanya pakaian mereka menunjukkan afiliasi kepada kelompok agama tertentu.
Jangan sampai anak-anak yang masih polos, menjadi objek utama dalam penyebaran radikalisme. Sehingga perlindungan anak sudah semestinya menjadi agenda dan prioritas pembangunan nasional, sehingga idealnya anak-anak terlindungi dari paparan paham radikal.
Namun peristiwa pengeboman yang melibatkan anak-anak telah menambah daftar pekerjaan rumah (PR) bersama yang harus mendapatkan prioritas oleh pemerintah untuk ditindaklanjuti.
Selain itu, keluarga khususnya orang tua juga tidak boleh cuek terhadap aktifitas anak seperti saat mengaji atau sekolah. Artinya, orang tua harus selalu cek and balance dengan pelajaran yang didapat anaknya.
Pasalnya, radikalisme bisa disusupkan melalui lagu, kisah, soal pelajaran dan media pembelajaran lainnya. Konten tersebut biasanya mengarah pada intoleransi dan ujaran kebencian.
Salah satu cara dalam upaya mencegah atau membentengi anak-anak dari radikalisme yaitu dengan menstimulus sikap cinta tanah air sejak dini. Salah satunya melalui simulasi-stimulasi seperti nyanyian-nyanyian yang mengandung unsur nasionalisme.
Selain itu kisah-kisah patriotik para pejuang juga perlu diceritakan kembali kepada anak-anak. Kisah-kisah kepahlawanan merebut kemerdekaan yang melibatkan beragam suku bangsa dan agama semestinya patut diceritakan agar anak-anak memahami bahwa Indonesia adalah Bangsa yang Bhineka.
Prinsipnya radikalisme berawal dari sikap intoleransi, sehingga upaya menumbuhkan sikap toleran harus ditumbuhkan baik di lingkungan keluarga maupun lingkungan sekolah.
)* Penulis aktif dalam Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini