Mewaspadai Provokasi Tolak RUU HIP
Oleh : Reza Pahlevi )*
Rancangan undang-undang haluan ideologi pancasila masih menjadi isu panas di masyarakat karena tidak mencantumkan TAP MPRS tentang pembubaran partai komunis Indonesia. Meskipun usulan RUU HIP sudah ditolak mentah-mentah oleh presiden Joko Widodo, namun banyak pihak yang protes dan menuntut agar usulan ini dicabut. Kondisi ini sangat berbahaya karena bisa muncul provokasi yang membenturkan antara pemerintah dengan rakyatnya.
Isu komunisme adalah hal yang sangat mengerikan, karena masyarakat masih ingat tentang kekejaman PKI di masa lampau. Ketika RUU HIP yang diusulkan oleh salah satu fraksi partai ternyata tidak mencantumkan TAP MPRS yang melarang adanya komunisme, marxisme, dan leninisme di Indonesia, spontan banyak orang yang protes dan langsung menggelar aksi demo. Padahal sudah jelas bahwa pembahasan RUU ini ditunda, karena fokus pemerintah adalah mengatasi dampak pandemi covid-19. Presiden juga menyatakan bahwa beliau tidak pernah memberikan surpres dan menerima usulan RUU ini.
Meskipun begitu, masih ada saja orang yang tidak percaya kepada pemerintah. Banyak organisasi massa yang masih menuntut pemerintah untuk mencabut usulan RUU HIP. Padahal menteri Mahfud MD sudah menjelaskan bahwa yang boleh mencabut RUU tersebut adalah DPR, karena ia yang pertama kali mengusulkannya. Jika presiden yang mencabutnya maka tidak sesuai dengan peraturan dan hukum negara.
Masyarakat ternyata masih belum puas dengan penundaan RUU HIP. Mereka malah menuduh pemerintah sengaja menundanya dan merealisasikannya suatu hari nanti, dan juga pro kepada komunisme. Padahal nasib RUU ini sekarang dikembalikan kepada fraksi yang mengusulkannya, untuk dievaluasi kembali. Fraksi partai itu juga sudah berjanji akan memasukkan TAP MPRS dan memastikan bahwa tidak ada paham komunisme yang bangkit kembali di Indonesia.
Sekertaris jendral PPP Asrul Sani menyatakan bahwa tudingan adanya paham komunis di dalam RUU HIP, karena tidak ada TAP MPRS No. XXV tahun 1966 tentang pembubaran PKI. Jadi membuat prasangka bahwa RUU ini ditunggangi oleh kelompok komunis atau sayap kiri, yang ingin muncul lagi di Indonesia. Jadi DPR harus terbuka dalam menerima masukan, agar isi RUU tersebut disesuaikan dan tidak memberikan ruang sejengkal pun bagi komunis di negeri ini.
Polemik tentang RUU HIP ini patut diwaspadai karena bisa jadi lahan basah bagi provokator untuk mengadu antara pemerintah dengan rakyatnya. Apalagi isu komunisme sangat dibenci oleh masyarakat. Provokator bisa terus menghasut bahwa ternyata pemerintah membangkitkan kembali komunisme secara diam-diam. Akhirnya masyarakat terpengaruh dan membuat aksi demo, padahal pengumpulan massa tentu sangat berbahaya. Karena melanggar aturan physical distancing dan berpotensi menyebarkan virus covid-19.
Kita wajib jeli ketika membaca suatu berita dan melihat konten di media sosial. Periksa dulu apakah artikelnya akurat atau hanya hoax yang dibuat oleh provokator, agar makin banyak yang tidak mau pro pemerintah. Periksalah tanggal dan kejadiannya, karena bisa jadi gambar yang disajikan hanya dicomot dari media lain. Logikanya, tidak mungkin pemerinth bis pro kepada komunis, karena Indonesia masih memegang teguh azas pancasila.
Ketika membaca berita di media online, lihatlah apakah perusahaan medianya valid atau hanya abal-abal. Karena kenyataannya semua orang bisa menulis di internet tentang provokasi komunisme. Berita yang tersebar di WA dan media sosial lain juga bisa dengan mudah di-crop dan diedit agar memprovokasi masyarakat.
Jangan mudah tersinggung ketika membaca berita tentang RUU HIP karena presiden sudah tegas menolaknya. Tidak mungkin komunisme dibiarkan tumbuh lagi di Indonesia. Perhatikan baik-baik ketika membaca suatu berita, dan jangan mudah kena pengaruh dari provokator.
)* Penulis adalah kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI)