Mewaspadai Ujaran Kebencian dan Radikalisme Saat Pandemi Corona
Oleh : Deka Prawira )*
Pandemi akibat menyebarnya virus covid-19 belum berakhir dan perkiraannya bisa sampai 1 atau 2 tahun lagi. Di tengah masa sulit, kaum radikal memanfaatkan momen ini untuk mempengaruhi banyak orang. Mereka menjelek-jelekkan pemerintah dan mengajak masyarakat untuk ikut membencinya.
Kaum radikal tak henti-hentinya menebar teror agar bisa memuluskan aksinya demi merah tujuan memiliki negara khilafiyah. Kondisi Indonesia yang masih dalam pandemi covid-19 dimanfaatkan dengan baik untuk membuat berita hoax dan meneror pikiran rakyat agar ikut memusuhi pemerintah. Predisen dan pejabat lain dituduh telah gagal mengatasi corona.
Terbukti dengan naiknya jumlah pasien jadi 900-an orang setelah dibukanya era new normal. Padahal jumlah pasien yang tercatat itu karena dari hasil tes yang digencarkan pemerintah. Lebih baik banyak pasien yang terdeteksi, daripada tidak ketahuan lalu tahu-tahu meninggal karena corona.
Virus covid-19 juga membuat masjid ditutup dan bahkan tidak boleh dijadikan tempat salat jumat dan salat idul fitri maupun idul adha. Kaum radikal langsung terang-terangan menyerang kebijakan pemerintah ini dan menganggap presiden mengambil hak muslimin untuk beribadah. Padahal penutupan masjid ini karena untuk mencegah penyebaran corona. Dikhawatirkan jamaah yang beribadah dengan berdempetan, akan saling menularkan virus covid-19. Jadi bukannya melarang untuk melakukan salat. Lagipula tempat ibadah lain juga ditutup untuk sementara.
Isu lain yang di-blow up oleh kaum radikal adalah pembukaan pusat perbelanjaan. Peristiwa ini dibentrokkan dengan berita penutupan rumah ibadah. Padahal pasar adalah salah satu tempat untuk menggulirkan kembali roda perekonomian yang sempat ambyar. Jika Mall dan supermarket dibuka lagi, maka pebisnis bisa menarik napas dengan lega dan kondisi finansial Indonesia akan sehat kembali, karena perputaran uang akan lancar lagi.
Jika pasar dibuka namun masjid ditutup, maka lihat dari fungsinya. Pasar adalah tempat berdagang dan jadi pusat perekonomian. Tidak ada penggantinya. Namun ketika beribadah di masjid masih bisa dilakukan di musala rumah atau di ruang tamu. Beribadah di mana saja dibolehkan, asalkan bersih dari najis. Salat di masjid memang meraih banyak pahala, namun bisa menaikkan resiko kena corona.
Kaum radikal juga memprotes keras mengapa Mentri Agama melarang calon jamaah haji untuk berangkat tahun ini. Padahal mereka sudah susah payah menabung biayanya dan menunggu hingga puluhan tahun, saking panjangnya antrian. Keputusan pemerintah untuk meniadakan haji tahun ini, karena kita masih dalam pandemi covid-19. Dikhawatirkan ketika bepergian ke luar negeri malah akan menularkan virus atau tertular. Situasi di Arab Saudi juga belum aman. Terbukti pemerintahnya menutup kembali puluhan masjid, karena ditemukan kasus corona baru.
Jangan mudah percaya jika ada berita apalagi hanya bersumber dari media online. semua orang bisa menulis di internet, termasuk kaum radikal. Mereka memang sengaja memanfaatkan momen pandemi covid-19 untuk mengais simpati dan dukungan dari seluruh rakyat Indonesia agar turut membenci pemerintah dan terutama pada Presiden. Caranya dengan membuat berita hoax dan narasi berita yang selalu mencela peraturan pemerintah.
Jadilah orang yang cerdas ketika surfing internet. Jangan malah menyebarkan berita hasil forward di grup WA, apalagi dengan embel-embel ‘dari grup sebelah’, karena kebenarannya dipertanyakan. Periksa dulu itu hoax atau bukan. Jika terbawa nafsu untuk meneruskan berita hoax, kum radikal malah senang karena berhasil memperluas pengaruhnya di dunia maya.
Kaum radikal mengambil momen pandemi covid-19 untuk menyebarkan ajarannya yang sesat. Mereka sengaja membuat berita hoax dan menjelek-jelekkan pemerintah. Jangan mudah percaya pada kata-kata hasil broadcast karena bisa jadi itu berita palsu.
)* Penulis aktif dalam Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini