Omnibus Law Cipta Kerja Jadi Momentum Reformasi Regulasi
Oleh : Ahmad Rizky )*
Munculnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja dinilai sebagai momentum reformasi regulasi ketenagakerjaan di Tanah Air. Hal ini dikarenakan indeks kebebasan ketenagakerjaan negara Indonesia mengalami penurunan peringkat hingga peringkat 145 dari 184 negara.
Direktur Institut Demokrasi dan Kesejahteraan sosial (Indeks), Arif Hadiwinata mengatakan rendahnya angka kebebasan ketenagakerjaan membuat iklim investasi memburuk hingga lapangan kerja menjadi langka dan angka pengangguran juga mengalami peningkatan.
Pengangguran akan menjadi hantu yang membayang-bayangi perekonomian nasional. Sehingga pemerintah harus berupaya menciptakan lapangan kerja yang dapat menampung para pengangguran.
Arif berujar bahwa Indonesia memang memiliki banyak regulasi yang mengatur ketenagakerjaan. Namun hal yang disayangkan adalah banyaknya peraturan yang tumpang tindih satu sama lain.
Tumpang tindihnya regulasi tersebut berdampak pada hambatan dalam berwieausaha secara behas dan investasi.
Arif juga menilai bahwa semua klaster yang ada dalam RUU Cipta Kerja merupakan hal yang penting untuk dibahas dan diselesaikan dalam satu paket. Jika ada satu saja klaster yang ditinggalkan menurut Arif regulasi ketenagakerjaan akan berjalan pincang.
Omnibus Law Cipta Kerja diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan tumpang tindih regulasi, sehingga tidak ada proses perizinan yang berbelit-belit bagi investor yang ingin membangun usaha.
Sebelumnya, Pengamat Ekonomi Gunawan Benjamin menilai, buruknya iklim investasi di Indonesia dapat mempengaruhi stagnannya pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, investasi menjadi komponen penting yang berkontribusi terhadap laju pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Harus diakui bahwa negara maju memang mempermudah investasi. Kalau kita ingin negara Indonesia maju, tentu harus terbuka dengan investasi dan tidak membuat rumit perizinan.
Gunawan menyebutkan, RUU Omnibus Law Cipta Kerja merupakan salah satu strategi Pemerintah dalam mengatasi permasalahan yang terkait dengan penataan regulasi perizinan usaha.
Dirinya juga meyakini, jika masalah regulasi perizinan ini bisa teratasi dengan Omnibus Law Cipta Kerja, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai diatas 5%.
Jika investasi didorong dan berkembang, maka hal ini tentu akan membangun sektor-sektor industri manufaktur yang saat ini terkesan berjalan ditempat. Apabila industri manufaktur tidak diperkuat, maka kita akan terus bergantung dengan impor.
Dampak dari menurunnya aktifitas industri manufaktur China tentu saja sangat berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Dari sektor perdagangan, keadaan tersebut tentu berpotensi terhadap kurangnya permintaan ekspor komoditi Indonesia untuk China.
Saat ini tercatat hampir 17% ekspor Indonesia ditujukan ke pasar China, dimana setiap 1 persen perlambatan ekonomi China akan berpengaruh terhadap perlambatan ekonomi Indonesia sebesar 0,3 persen.
Setelah virus corona mewabah di Indonesia, sektor investasi dapat dilihat dari gejolak pasar keuangan yang cenderung tertahan dan sulit mengalami peningkatan.
Oleh karena itu, menjelang new normal atau tatanan kehidupan baru, RUU Omnibus Law tentu harus dibahas untuk menemukan formulasi jitu agar perekonomian Indonesia bisa kembali bangkit.
Sementara itu, Fahri Bachmid selaku pengangat Hukum Tata Negara dari Universitas Muslim Indonesia Makasar, berpendapat bahwa urgensi pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja merupakan salah satu bentuk respon pemerintah terhadap dinamika perubahan global.
Dengan adanya Omnibus Law RUU Cipta Kerja, Fahri berharap agar pemerintah mampu mendorong laju pertumbuhan ekonomi nasional melalui penciptaan lapangan kerja.
Ia juga mengatakan, penerapan omnibus law di Indonesia merupakan salah satu strategi dalam menyelesaikan tumpang tindih regulasi hingga kondisi hiperregulasi. Fahri mencatat bahwa saat ini ada 8.451 peraturan pusat dan 15.965 peraturan daerah.
Dengan regulasi seperti itu, tentu saja akan membuat proses investasi terasa berbelit-belit sehingga mengurungkan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Di sejumlah negara, Omnibus Law telah diterapkan untuk memperbaiki regulasi dalam rangka penciptaan lapangan kerja serta meningkatkan iklim investasi dan daya saing.
Oleh karena itu kita patut mendukung agar DPR membahas RUU Omnibus Law Cipta kerja secara cermat dan teliti, sehingga segala aturan yang tumpang tindih bisa dipangkas.
Reformasi regulasi tentu diperlukan, sebagai upaya dalam mewujudkan visi pembangunan nasional, khususnya sektor ekonomi agar dapat berjalan secara proporsional di bawah payung hukum berkonsep omnibus law.
)* Penulis adalah kontributor The Jakarta Institute