Operasi Intelijen? Tuduhan Tanpa Landasan!
Oleh : Rahmanto )*
Jakarta, LSISI.ID – Bendera bertuliskan kalimat tauhid menjadi kontroversi di Tanah Air akhir akhir ini. Polemik itu berawal dari pembakaran bendera oleh anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) Nahdlatul Ulama di Garut Jawa Barat. Pembakaran terjadi saat perayaan hari santri di daerah Limbangan, Garut Jawa Barat pada 22 Oktober 2018 lalu. Bendera itu dibakar karena dianggap sebagai bendera milik Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Namun, banyak bermunculan aksi protes atas dampak pembakaran bendera itu. Mereka melakukan protes karena menganggap bendera yang dibakar itu bertuliskan kalimat tauhid milik Rasulullah. Alasan itu yang memicu munculnya gerakan Aksi Bela Tauhid digelar di Jakarta meskipun Indonesia sedang berduka atas jatuhnya pesawat Lion Air yang menewaskan seluruh penumpang 29 Oktober 2018 lalu. Aksi yang mengatasnamakan Islam itu seakan-akan tidak menghiraukan situasi duka yang sedang melanda Indonesia dan hanya sebagai kepentingan politik belaka.
Salah satu ormas Islam yang melakukan kecaman terhadap pembakaran bendera tersebut adalah Front Pembela Islam (FPI). FPI mengecam keras tindakan belasan anggota Banser, Nahdlatul Ulama (NU) yang membakar bendera hitam bertuliskan aksara Arab. tindakan tersebut dianggap tidak beradab padahal bendera itu sudah jelas identik dengan bendera milik Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), organisasi yang telah ditetapkan ormas sesat dan terbukti bertujuan mengganti ideologi pancasila menjadi sistem Khilafah. Apabila pembakaran bendera HTI itu masih didukung maka dapat dipertanyakan kemana arah ideologi ormas FPI? Percaya Pancasila atau mendukung terbentuknya sistem Khilafah di Indonesia.
Di sisi lain, pemerintah Arab Saudi sangat melarang keras segala bentuk jargon, label, atribut dan lambang apa pun yang berbau terorisme seperti ISIS, Al-Qaeda, Al-Jama’ah al-Islamiyyah dan segala kegiatan yang berbau terorisme dan ekstrimisme. Dengan begitu bendera HTI tersebut tentu dapat digolongkan identik dengan ekstrimisme dan dilarang di Arab saudi.
Imam besar FPI Habib Rizieq Shihab didatangi pihak kepolisian Mekkah karena diduga melakukan pemasangan bendera hitam mirip HTI yang mengarah pada ciri-ciri gerakan ekstremis pada dinding belakang rumah pada 5 November 2018 lalu. Sore harinya, Rizieq dijemput oleh Mahabis Ammah yang merupakan intelijen umum atau General Investigation Directorate GID Arab Saudi. Penjemputan itu dilakukan bersama kepolisian Mekkah. Dalam penyelidikan dan penyidikan oleh pihak berwenang Saudi, Rizieq pun ditahan.
Dalam pembelaannya, Rizieq curiga ada operasi intelijen dari Indonesia yang menyebabkan dirinya diperiksa intelijen Arab Saudi. Ada suatu kegiatan terstruktur yang dianggap ingin mencelakakan dirinya di Saudi. Namun hal tersebut tidak bisa dibuktikan bahwa ada operasi intelijen karena Saudi adalah negara yang berdaulat dan tidak bisa diintervensi Indonesia. Operasi intelijen juga sangat dilarang dilakukan di negara itu dan hukumnya adalah persona non grata atau dipulangkan secara paksa ke negara asal bahkan ancaman hukuman matipun menanti. Kecurigaan Rizieq tersebut hanya tuduhan fitnah belaka terhadap pemerintah karena ia tidak bisa memberikan bukti bukti otentik bahwa pemerintah indonesia terlibat pada masalah yang sedang menjeratnya bahkan pemerintah Indonesia melalui KBRI di Riyadh selalu melakukan pendampingan hukum kepada Rizieq guna menyelesaikan permasalahan hukumnya.
Kalimat “Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah” memang dipakai dalam beberapa negara sebagai bendera. Selain Arab Saudi, Afghanistan pun memasukkan kalimat itu dalam benderanya. ISIS juga memakai bendera hitam dengan tulisan “laa ilaaha illallah“. Pemakaian atribut tersebut harus dilihat secara cermat. Kalimat Tauhid mempersatukan umat Islam sebagai satu kesatuan tanpa melihat lagi keragaman bahasa, warna kulit, suku, bangsa ataupun mazhab dan paham yang ada di tengah umat Islam. Namun, yang salah dan dilarang adalah bendera dengan simbol ormas HTI, organisasi yang sudah dinyatakan ilegal di Indonesia.
)* Pengamat Politik