Pembebasan Ba’asyir, Jangan Dipolitisasi
Oleh : Ananda Rasti )*
Akhir – akhir ini beredar berita bahwa Abu Bakar Ba’asyir akan dibebaskan dari Lapas Gunung Sindur dalam waktu dekat. Sesuai dengan keterangan Menkopolhukam, rencana tersebut masih dalam tahap pengkajian oleh instansi terkait, agar tidak muncul dampak negatif dan destruktif di kemudian hari. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa pembebasan Abu Bakar Ba’asyir dilakukan demi dan atas dasar pertimbangan alasan kemanusiaan.
Namun, reaksi pro dan kontra dari berbagai pihak sudah bermunculan, baik dari dalam maupun luar negeri. Terlebih berita ini muncul menjelang pemilihan presiden (Pilpres) 2019. Tentu dalam sekejap berita ini menjadi viral di berbagai media dan menjadi perbincangan masyarakat, bahkan gaungnya sampai mancanegara.
Memberikan reaksi, komentar dan tanggapan adalah wajar dan merupakan hak setiap orang, lembaga, institusi maupun negara. Tentu komentar itu ada yang pro dan kontra. Sepanjang disertai dalil – dalil yang argumentatif, rasional, konsisten serta ada dasar hukumnya, semua sah – sah saja. Komentar muncul dari salah satu negara, yaitu Australia yang mengecam rencana pembebasan Ba’asyir. Mereka mengaitkannya dengan peristiwa Bom Bali 1 dan 2. Sebagai negara yang warga negaranya paling banyak menjadi korban dalam peristiwa tersebut, wajar Australia mengecam rencana pembebasan ini. Demikian juga negara lain yang warga negaranya menjadi korban, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan lain – lain juga kurang sependapat dengan rencana ini. Negara – negara tersebut mengganggap Indonesia kurang serius memerangi aksi terorisme dengan membebaskan Abu Bakar Ba’asyir.
Sikap tegas pemerintah Indonesia menjaga kedaulatan optimis harus didukung oleh masyarakat Indonesia. Sikap Australia sangat mungkin dinilai sebagai produk pemikiran yang paranoid dan hiperbola, kenapa harus ribut dengan keputusan pemerintah Indonesia terkait WNI. Sebagai negara tetangga, maka sangat kurang etis ikut campur urusan dapur negara Indonesia. Indonesia negara hukum, negara berdaulat, seorang Abu Bakar Ba’asyir sebagai WNI juga telah menjalani semua proses hukum yang berlaku atas semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya terkait terorisme. Keadilan model apa yang mereka tuntut kepada Indonesia?
Di sisi lain, ada juga pihak yang kurang konsisten dalam menanggapi rencana pembebasan Ba’asyir ini, yaitu dari kubu Prabowo – Sandi yang menilai rencana ini hanya untuk tujuan politis, yaitu untuk menaikkan elektabilitas menjelang Pilpres 2019. Mereka juga menyebut pemerintahan Jokowi pro terhadap aksi terorisme, inkonstitusional, dan bukti kegagalan pemerintah menjalankan program deradikalisasi terhadap kelompok radikal di Indonesia. Berbagai kecaman diarahkan pada pemerintah, padahal jika ditengok ke belakang justru kelompok mereka yang konon didukung para ulama yang getol meminta agar para tokoh Islam – yang ada dalam penjara karena masalah ideologi – dibebaskan termasuk Abu Bakar Ba’asyir.
Hal ini membuat kita bertanya – tanya, sebenarnya siapa yang mengklaim didukung ulama, kyai, pondok pesantren dan umat Islam, jika pembebasan itu berdasarkan alasan kemanusiaan, kesehatan serta ada dasar hukumnya yaitu pasal 14 UUD 1945 serta UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Oleh karena itu, pembebasan Ba’asyir sah – sah saja menurut aturan, karena Presiden memang diberi kewenangan untuk memberikan grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi, sehingga ditinjau dari berbagai sudut pembebasan Ba’asyir adalah hal wajar, lumrah dan sesuai dengan hukum yang berlaku. Jika kubu Paslon nomor urut 02 ingin konsisten maka seharusnya mereka menyambut gembira rencana ini.
Semoga tokoh-tokoh masyarakat khususnya umat Islam bisa bijak dalam bersikap, karena perdebatan-perdebatan soal bebas murninya Abu Bakar Ba’asyir bisa menjadi pintu masuk pihak asing. Jangan sampai pemerintah Indonesia yang berdaulat mau disetir dengan kepentingan negara lain. Begitu juga dengan masyarakat, jangan terpengaruh dengan politisasi terhadap berita pembebasan Abu Bakar Ba’asyir. Mari kita percayakan segala prosesnya kepada pemerintah.
)* Penulis adalah pengamat masalah sosial politik