Pendekatan Humanis Percepat Penyelesaian Konflik Papua
Oleh : Timotius Gobay )*
Pemerintah terus berupaya mengakhiri konflik di Papua dengan mengedepankan pendekatan humanis dan kesejahteraan. Implementasi strategi baru tersebut membawa angin segar kepada masyarakat yang menantikan terwujudnya stabilitas sosial keamanan di Papua.
Papua adalah wilayah yang eksotis dan sering jadi tujuan wisata, akan tetapi sektor turisme di sana bisa terganggu ketika ada konflik, baik serangan dari kelompok separatis dan teroris maupun konflik antar warga. Pertikaian seperti ini tentu merugikan karena bisa membuat kedatangan tamu asing ke Bumi Cendrawasih jadi berkurang dan membuatnya punya inage negatif.
Oleh karena itu pemerintah melakukan strategi lain untuk meminimalisir konflik, yakni via pendekatan humanis dan dialog dari hati ke hati. Hasilnya ada 1 permasalahan yang berhasil diselesaikan yakni adanya perdamaian antar warga Nduga dan Lanny Jaya, yang sebelumnya bertikai. Walau ada syarat yakni penyerahan 20 ekor babi dan uang milyaran, tetapi kedua belah pihak sudah ikhlas dan sepakat untuk menyudahi permusuhan.
Perdamaian antar warga diinisiasi melalui rapat yang dihadiri oleh Bupati Lanny Jaya dan Nduga, serta diinisiasi oleh TNI dan Polri. Danrem 172/PWY Brigjen TNI Izak Pangemanann menyatakan bahwa perdamaian terjadi tanggal 13 Januari 2022. Prosesi ini dilakukan di Lapangan Sinapuk, Distrik Wamena, Kabupaten Jayawijaya.
Perdamaian ini melegakan karena bisa menghindarkan dari konflik yang lebih parah. Dengan dialog maka masalah bisa diselesaikan, meski mengorbankan sejumlah uang. Akan tetapi uang tersebut tidak apa-apa diserahkan, daripada nantinya mengobarkan pertikaian yang tak berkesudahan.
Pengamat politik Stanislaus Riyanta menyatakan bahwa konflik bisa diselesaikan melalui dialog yang intensif untuk mengatasi 2 pihak yang berseteru. Meski perlu sosialisasi terhadap masyarakat mengenai hukum yang berlaku, walau sulit karena di Papua masih erat dengan hukum adat.
Hukum adat di Papua memang masih kuat dan masyarakat menaatinya, dan ketika ada pelanggaran yang berujung konflik maka mereka meminta nasihat dari ketua adat. Akan tetapi, dipastikan bahwa hukum adat tidak melanggar hukum yang berlaku di Indonesia. Oleh karena itu ketua adat perlu untuk juga memahami berbagai peraturan di negeri ini, agar tidak terjadi kontra yang menyebabkan masyarakat terus bertikai.
Ketika ada konflik yang diselesaikan maka ada titik tengah yang membuat kedua belah pihak jadi berdamai. Di sinilah peran pemerintah daerah, TNI, Polri, dan ketua adat diperlukan, agar semuanya berkolaborasi untuk mewujudkan perdamaian di Papua.
Dialog dari hati ke hati menjadi cara untuk mewujudkan perdamaian di Papua karena jika ada konflik terus-menerus, maka yang dirugikan adalah masyarakat. Selain membuat citra di Bumi Cendrawasih jadi negatif dan merugikan sektor pariwisata, maka ketika ada pertikaian, warga sipil jadi kesusahan untuk beraktivitas di luar rumah. Akibatnya bidang perekonomian jadi terganggu.
Dengan dialog dari hati ke hati maka tercipta pengertian antar pihak. Bandingkan jika konflik diselesaikan dengan cara spartan, maka yang ada hanyalah pertikaian tiada henti karena ada serangan balasan setiap hari. Saat berdialog maka selain ada ketua suku, bisa juga didatangkan tokoh agama, karena mereka juga dihormati oleh masyarakat Papua dan kata-katanya lebih dituruti.
Saat ada konflik di Papua maka harus segera diselesaikan karena kita tentu tidak mau lagi ada perang antar suku dan lemparan panah yang membuat suasana jadi runyam. Konflik bisa diselesaikan dengan pendekatan yang humanis dan dialog dari hati ke hati. Dengan pendekatan ini maka semuanya mendapat win-win solution dan Papua jadi wilayah yang aman dan damai.
)* Penulis adalah mahasiswa Papua tinggal di Gorontalo