Pendiri IPI : Indikator Kongres Nasional dan Reuni Akbar 212 Beraroma Politis
JAKARTA, LSISI.ID – Berbagai kegiatan yang mengatasnamakan alumni Aksi Bela Islam 212 semakin intensif baik dalam bentuk aksi demonstrasi, diskusi di ruang terbuka dan tertutup hingga publikasi di berbagai media. Bahkan pada awal Desember bulan depan, mereka merencanakan Kongres Nasional dan Reuni Akbar 212.
Pendiri The Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menilai agenda sejumlah pihak yang mengatasnamakan alumni 212 telah tercium aroma politik yang sangat kental.
“Sulit untuk mengatakan gerakan tersebut murni kegiatan keagamaan,” ungkap Karyono Wibowo hari ini.
Menurutnya, publik belum lupa tentang berbagai aksi yang mereka lakukan yang bertepatan pada momentum pilkada DKI Jakarta yang baru lalu. Kata dia, peristiwa politik berbau SARA masih terekam sangat baik dalam memori publik. Banyak masyarakat yang cukup cerdas memahami apa yang terjadi dibalik aksi yang mereka lakukan.
“Sebenarnya tidak sulit untuk menangkap pesan yang disampaikan dalam aksi-aksi tersebut walau dibungkus dengan kegiatan keagamaan sekalipun. Serapi apapun mereka menutupi kepentingan politik yang bersemayam di balik gerakan tersebut, tak akan mampu membendung aroma politik yang terlalu menyengat,” jelas dia.
Masih kata Karyono, sulit dipungkiri aksi-aksi yang diberi judul “Bela Islam” tersebut ada target politik untuk membendung Ahok-Djarot memenangi pilkada DKI. Lanjut dia, kasihan umat di bawah yang jujur, polos dan tulus dalam melaksanakan keyakinan agama telah dipengaruhi dengan propaganda politik yang diberi stempel Bela Islam.
Karena upaya mereka sukses di Pilkada DKI Jakarta mampu menumbangkan Ahok-Djarot, maka timbul keinginan dari sebagaian orang yang terlibat dalam membidani aksi tersebut untuk melembagakan komunitas tersebut. Penyelenggaraan Kongres merupakan bukti ada upaya membangun institusionalisasi atau pelembagaan terhadap peserta aksi bela Islam 212.
“Lalu apa tujuan melakukan institusionalisasi di tengah tahun politik saat ini. Sangat sulit untuk mengatakan tidak ada tujuan politik,” bebernya.
Dia pun menduga bahwa upaya institusionalisasi peserta aksi bela Islam menjadi organusasi alumni 212 terselip kepentingan politik baik dalam pilkada serentak 2018 maupun pemilu nasional yang akan digelar pada 2019 mendatang,” sebut dia.
Salah satu indikatornya, masih kata Karyono, sejumlah isu sudah mencuat. Dia mencatat sejumlah isu yang muncul di tahun politik ini antara lain isu jangan pilih partai pendukung penista agama dan jangan pilih calon kepala daerah yang diusung oleh partai pendukung penista agama.
“Jangan pilih kepala daerah yang kafir, dan sebagainya. Isu tersebut jelas berhubungan dengan agenda politik ke depan yang pelaksanaannya sudah di ambang pintu,” sebutnya.
Karenanya, lanjut dia, nampak ada korelasi antara keinginan melembagakan alumni 212 secara permanen melalui forum kongres yang akan digelar bulan depan dengan agenda tujuan politik ke depan. Kelompok yang mengatasnamakan alumni 212 tersebut ingin mengulang kesuksesan di pilkada DKI Jakarta yang berhasil membendung Basuki Tjahaya Purnama-Djarot Saiful Hidayat memimpin Jakarta. Mereka bermimpi kesuksesan pilkada DKI dapat terulang di pilkada daerah lain.
“Tentu isu yang dibangun tidak sama persis seperti Pilkada DKI, tetapi ada modifikasi isu sesuai kondisi dan realitas politik yang ada di masing-masing daerah. Begitu pun dalam agenda politik nasional dan Pemilu 2019, tentu ada modifikasi dalam berbagai varian isu,” katanya.
Namun, tambah Karyono, ada satu ciri khas yang dibangun sebagai isu utama (main issues) dan isu inti (core issues) yakni membangkitkan sentimen agama dan etnis. Mereka menyalahgunakan strategi membangun politik identitas. Cara dan metode seperti itu sangat membahayakan dan mengancam keutuhan bangsa dan negara. Merusak nilai-nilai kebangsaan yang sudah terbangun dan diikat oleh prinsip Bhinneka tunggal ika dengan falsafah Pancasila sebagai dasar negara dan UUD NKRI 1945.
Oleh karena itu, cara-cara berpolitik seperti itu harus segera ditinggalkan demi keutuhan bangsa dan negara.
“Karena, cara-cara berpolitik dengan menggunakan sentimen SARA untuk mencapai tujuan adalah bentuk berpolitik memecah belah, politik mengabaikan etika dan moral,” pungkasnya.
Sumber : Beritaasatu