Pilkada Tanpa Politisasi SARA
Oleh: Adi Ginanjar )*
Selama beberapa tahun terakhir Indonesia selalu dibuat geger oleh informasi-informasi bermuatan hoax dan berbau provokasi SARA. Sebagai contoh kita bisa lihat bagaimana ada kasus saracen hingga Pilkada Jakarta yang jika kita lihat sangatlah kental dengan isu-isu SARA. Informasi-informasi berbau SARA ini kemudian menimbulkan kebencian pada suatu kelompok masyarakat sehingga membuat seolah Indonesia menjadi terkotak-kotak.
Isu-isu semacam ini sengaja dibentuk tentunya dengan suatu tujuan dari oknum-oknumnya. Misalnya soal Saracen, Kasubag Ops Satgas Patroli Siber Polri, AKBP Susatyo Purnowo pernah mengatakan bahwa para tersangka Saracen mematok harga dalam bentuk proposal mulai dari 75 juta sampai 100 juta rupiah. Dengan kata lain, ada orang yang sengaja membayar kelompok kriminal ini untuk menyebarkan informasi-informasi yang bersifat hoax dan menyerang dari sisi SARA.
Di era digital ini, suatu informasi dapat menyebar dengan cepat tanpa melihat jarak dan waktu. Banyak media-media sosial yang dapat digunakan untuk berbagi informasi dan sarana bertukar pikiran. Di satu sisi, hal ini memang terlihat positif, namun jika informasi tersebut ternyata adalah informasi hoax atau provokasi isu SARA, maka akan sangat berbahaya. Berita yang semacam ini jika disebarluaskan maka pastinya akan dapat menimbulkan banyak kegaduhan dan stigma (cap) buruk pada suatu kelompok sehingga perlahan akan mulai muncul sikap kebencian. Inilah yang kemudian dapat menimbulkan gesekan antar kelompok masyarakat dan kemudian dimanfaatkan oleh sekelompok oknum yang berkepentingan.
Tahun 2018 seperti yang kita ketahui bersama merupakan tahun politik, dimana pada tahun ini akan dihelat suatu acara pesta rakyat pilkada serentak. Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah) serentak 2018 ini akan dilaksanakan di 17 provinsi. Hal ini akan menjadi riskan mengingat dalam politik akan sangat rentan dilakukan hal-hal negatif guna menjatuhkan lawan politiknya. Sehingga menjelang Pilkada serentak ini dikhawatirkan akan marak kembali informasi-informasi yang bersifat hoax ataupun provokasi sara guna menjatuhkan lawan politiknya.
Ancaman pidana penyebar informasi berbau SARA dan kebencian
Dalam hal penyebaran informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan dalam konteks SARA, sudah ada regulasi atau dasar hukum yang siap menjerat pelakunya. Dasar hukum yang dimaksud adalah Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau lebih kita kenal dengan UU ITE. Di dalam Undang-undang ini sudah secara jelas dan gamblang menjelaskan bahwa tidak boleh seseorang menyebarkan informasi-informasi yang dapat menimbulkan kebencian dalam konteks SARA.
Pasal 28 ayat (2) Undang-undang ITE merupakan pasal paling kuat dan tegas serta jelas dalam menindak penyebaran kebencian dibanding pasal-pasal pidana lainnya. Dimana pasal ini berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas SARA”. Dengan kata lain, maka siapa pun yang membantu menyebarkan informasi-informasi bermuatan kebencian atau permusuhan individu berdasarkan atas SARA, maka dapat dijerat pasal 28 ayat (2) Undang-undang ITE.
Pasal 28 ayat (2) Undang-undang ITE ini, ancaman pidananya terdapat pada pasal Pasal 45 ayat (2) nya yang berbunyi: “Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak 1 miliar rupiah.” Unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 28 ayat (2) antara lain:
- Setiap orang
- Sengaja menyebarkan informasi
- Menimbulkan kebencian Berdasarkan SARA
Berdasarkan hal tersebut maka sangatlah jelas bahwa sekedar ikut-ikutan menyebarkan informasi berbau kebencian berdasarkan SARA sama saja dengan mengantarkan diri anda pada jeratan UU ITE. Bukan hanya ancaman bui yang menanti akan tetapi denda pun siap menunggu.
Masyarakat Indonesia harus waspada
Ancaman pidana yang tinggi bagi para penyebar informasi-informasi pemicu kebencian berdasarkan SARA ini adalah hal yang wajar. Hal ini dikarenakan dengan pesatnya kemajuan teknologi di era digital ini tentunya akan membuat informasi-informasi bernuansa SARA ini menyebar dengan sangat cepat. Informasi yang tadinya berasal dari 1 orang kemudian dikirim ke beberapa orang, kemudian beberapa orang mengirimkan lagi sehingga terus meluas. Hal ini dapat menyebabkan gangguan dalam skala besar jika dibiarkan. Sehingga inilah alasan UU ITE dibentuk, yaitu harus mampu menjadi regulasi agar jumlah pelaku-pelaku kejahatan semacam ini dapat ditekan.
Tujuan dari adanya peraturan semacam ini adalah agar masyarakat tidak semerta merta menelan dan menyebarkan informasi-informasi berbau SARA apalagi meneruskan menyebarluaskannya. Karena sebenarnnya, ikut menyebarkannya pun dapat terjerat UU ITE. Oleh karena itu, sebagai warga negara yang baik harus mulai sadar akan hal ini. Warga negara Indonesia harus bersifat dingin dan tenang agar tidak terprovokasi jika mendapatkan informasi-informasi yang bermuatan SARA. Dekatnya kita hari ini dengan Pilkada serentak harus menjadikan kita sebagai warga negara indonesia lebih sadar dan waspada terhadap merebaknya kembali isu-isu SARA. Kita harus sadar, jika kita terprovokasi dan termakan isu-isu semacam ini maka hanya akan menguntungkan pihak-pihak tertentu yang mempunyai kepentingan politik. Ingatlah, di era digital ini bukan lagi mulutmu harimaumu tapi jarimu juga harimaumu.
)* Penulis adalah Kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI)