Politik Minim Etika Ala Prabowo
Penulis : Ahmad Harris*
Untuk kesekian kalinya, Prabowo kembali dilaporkan ke Bawaslu oleh Kantor Bantuan Hukum Kebangkitan Indonesia Baru (KBH-KIB) lantaran mencuri start kampanye. Tuduhan yang sama juga dilontarkan oleh Barisan Advokat Indonesia (BADI) ke Bawaslu. Prabowo dilaporkan karena diduga melanggar Pasal 276 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa kampanye di media massa penyiaran diizinkan pada rentang waktu 21 hari sebelum masa tenang, yaitu pada 24 Maret – 13 April 2019.
Sayangnya, Prabowo diduga melakukan curi start kampanye sejak tanggal 14 Januari melalui pidato kebangsaan. Dalam pidato tersebut, baik KBH-IBK dan BADI menilai Prabowo telah melakukan kampanye. Tuduhan tersebut diperkuat dengan substansi pidato kebangsaan Prabowo. Dalam pidato tersebut, Prabowo secara jelas menjelaskan visi misi serta ajakan untuk memilihnya. Kedua unsur tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk kampanye Prabowo Subianto. Kondisi inilah yang akhirnya mendorong BADI dan KBH-IBK untuk melaporkan Prabowo Subianto.
Pidato kebangsaan Prabowo Subianto ini merupakan alternatif dari sosialisasi visi misi yang awalnya dirancang oleh KPU. Sebelumnya, dalam rapat, KPU mengangkat wacana untuk mengadakan sosialisasi kepada masyarakat Indonesia terkait visi misi calon Presiden dan calon wakil Presiden. Sayangnya, tidak ada kesepakatan untuk melaksanakan hal tersebut oleh kedua kubu. Tentu, menjadi aneh jika kubu Prabowo kembali memunculkan wacana tersebut dengan bungkus pidato kebangsaan yang sarat akan ajakan untuk memilih. Kalaupun ingin melanjutkan wacana KPU untuk melakukan sosialisasi visi misi, tidak seharusnya Prabowo Subianto menyisipkan ajakan kepada masyarakat apalagi sampai menyisipkan kampanye yang menjatuhkan kandidat lain.
Jika ditelaah kembali, memang substansi pidato Prabowo tersebut sarat akan ajakan untuk memilihnya dalam Pilpres 2019. Prabowo seolah menghadirkan pesan bahwa masyarakat akan sangat sejahtera jika memilihnya dalam Pilpres pada April mendatang. Sebaliknya, jika ia tidak terpilih ia seolah menghadirkan pesan bahwa Indonesia sulit untuk bertahan. Tentu, hal tersebut dilarang oleh Undang-undang dan Peraturan KPU mengingat waktu kampanye Prabowo tersebut berada di luar waktu yang telah ditentukan. Seyogyanya, KPU bersama Bawaslu perlu mengevaluasi dan memberikan tindakan kepada Prabowo karena telah melanggar amanat Undang-undang.
Perilaku politik minim etika ini sejatinya telah berulang kali dilakukan oleh kubu Prabowo dan Sandiaga Uno. Sebelum kejadian pencurian start kampanye, Prabowo dan Sandiaga Uno beserta pengusungnya ditampar keras oleh peringatan Gatot Nurmantyo. Selaku pihak yang masih netral, Gatot Nurmantyo merasa namanya dicatut oleh kubu Prabowo-Sandi dengan menghadirkan foto dan gambarnya pada banner resmi milik pasangan calon nomor urut 2 tersebut. Bahkan, setelah diingatkan sekeras itupun, Sandiaga Uno hanya mengatakan akan dipertimbangkan tanpa ada permohonan maaf secara resmi dan beradab.
Melihat kedua kejadian tersebut, masyarakat harus mulai menilai tindak tanduk dan perilaku dari Prabowo. Sebagai salah satu kandidat Presiden, sudah menjadi kewajiban Prabowo untuk memperlihatkan teladan kepada masyarakat Indonesia. Dengan pencurian start kampanye serta pencatutan nama tersebut, dapat dikatakan bahwa Prabowo tidak berkapabilitas untuk memberikan contoh kepada Indonesia. Bahkan, yang ditunjukkan Prabowo saat ini kepada Indonesia ialah perilaku politik minim etika. Tentu Indonesia tidak membutuhkan pemimpin dengan kelas rendahan semacam ini. Penting bagi masyarakat untuk mampu menentukan pilihan politiknya kepada seseorang yang mampu menunjukkan politik yang beretika dan beradab.
*) Mahasiswa FISIP Universitas Dharma Agung