Politik Paranoid Prabowo Warnai Demokrasi Indonesia
Oleh : Ahmad Harris )*
Pada bulan Mei 2018, sejumlah pakar politik menulis penilaiannya terhadap demokrasi yang berlangsung di dunia. Dalam tulisan tersebut, para pakar mengusung tema “Is Democracy Dying? A Global Report.” Sejumlah pakar menilai demokrasi saat ini justru mengkhianati prinsip dasar demokrasi itu sendiri seperti menjaga pluralisme, kebebasan berpendapat serta komitmen anti diskriminatif terhadap pihak manapun.
Penghianatan terhadap prinsip demokrasi tersebut dapat dilihat dari mekanisme Pemilihan umum sebagai sistem yang mengelola pergantian kepemimpinan secara berkala. Pasalnya, di berbagai negara, Pemilu menjadi cerminan rendahnya penghormatan terhadap demokrasi saat ini. Para calon pemimpin yang ikut menjadi kandidat justru hadir sebagai sosok yang destruktif terhadap pluralisme dengan menggunakan ide-ide politik identitas. Begitu juga dengan kebebasan berpendapat dan sikap anti diskriminatif yang dikhianati oleh calon pemimpin dalam platform yang katanya demokrasi itu.
Calon pemimpin yang justru mengkhianati prinsip demokrasi tersebut, tak jarang menggunakan gaya-gaya paranoid sebagai sesuatu yang dapat dieksploitasi untuk membangkitkan kemarahan. Hal tersebut akhirnya menyebarkan kemarahan semakin meluas sehingga masyarakat akan mengabaikan realitas objektif dari suatu permasalahan dan lebih mengutamakan persepsi subjektif atas kemarahannya. Kemarahan yang semakin meluas inilah yang terus dieksploitasi oleh pihak tertentu untuk memenangkan Pemilu.
Tulisan para ahli tersebut tampaknya sangat mencerminkan keadaan Indonesia saat ini. Salah satu calon Presiden, Prabowo Subianto, tampaknya sedang memainkan politik paranoid atau yang populer disebut dengan politik pesimisme. Tujuannya tak lain adalah untuk membangkitkan amarah masyarakat Indonesia. Berbagai kasus diangkat oleh pihak pemenangan Prabowo guna memicu kemarahan terhadap lawannya, Presiden Jokowi. Mulai dari kasus Ratna Sarumpaet, isu kriminalisasi ulama, kriminalisasi cagub Kalimantan Timur, hingga kriminalisasi Gubernur Papua selalu diangkat untuk menyebarkan kemarahan diantara masyarakat.
Sejumlah ahli memang menilai upaya Prabowo sebagai bentuk kampanye negatif yang sah-sah saja dilakukan. Sayangnya, hanya sejumlah ahli yang paham bahwa Prabowo memainkan politik paranoid yang justru mengancam prinsip demokrasi itu sendiri. Upaya Prabowo untuk mengusung politik identitas saat ini justru menyebabkan munculnya polarisasi besar di berbagai kalangan. Tak jarang, sampai menimbulkan aksi anarkisme dan persekusi. Selain itu, penyusunan narasi kebohongan seperti isu kriminalisasi cagub, isu Ratra Sarumpaet juga telah melanggar hak kebebasan berpendapat itu sendiri.
Tentu semua orang bebas untuk berpendapat selama ia tidak menyebarkan kebohongan dan provokasi yang dapat memecah belah bangsa. Untuk mengantisipasi hal tersebut, sudah selayaknya masyarakat juga memahami situasi dan kondisi yang berkembang. Sebagaimana narasi kebohongan sudah menyebar luas, masyarakat harus mampu melakukan validasi atas suatu permasalahan yang diangkat. Jangan sampai masyarakat hanya menjadi mainan bagi cara politik Prabowo yang mengusung gaya menakut-nakuti.
Dalam jangka panjang, metode Prabowo dengan menggunakan politik paranoid akan menyebabkan Indonesia semakin jatuh dalam polarisasi serta ketegangan antar kedua pihak pendukung. Suatu cara yang justru mengkhianati prinsip demokrasi itu sendiri. Sudah seharusnya Prabowo membuka lembaran baru di tahun 2019 dan mulai mengganti cara politik yang tidak sehat tersebut. Alangkah lebih baik dan harmonis, jika Prabowo menggunakan cara politik yang memuliakan manusia sekaligus menonjolkan program yang akan diusung. Niscaya, demokrasi Indonesia akan berjalan menuju ke arah yang lebih baik.
)* Penulis adalah pemerhati politik