Warta Strategis

Politisasi Masjid, Sebuah Polemik yang Tidak Perlu

Oleh : Dodik Prasetyo )*

Politisasi masjid didefinisikan sebagian orang sebagai gerakan yang menggunakan masjid sebagai tempat untuk menyalurkan aspirasinya mengenai kekuasaan. Umumnya, aspirasi melalui politik masjid dianggap sebagai gerakan anti pemerintah. Sesuatu yang sejak pemerintahan orde lama hingga kini, cukup mengkhawatirkan pemerintah yang berkuasa, karena umat Islam di Indonesia berjumlah cukup besar dengan beragam budaya. Kekahawatiran terbesar adalah umat Islam menjadi terpecah belah.

Politisasi masjid dilakukan oleh tokoh agama atau ulama dalam Islam yang dianggap berpengaruh dalam masyarakat. Tokoh ini, biasanya mempunyai pengikut tertentu yang cukup fanatik. Sehingga apa pun yang dikatakan seperti sebuah perintah kepada pengikutnya. Sementara, di dalam sebuah masjid yang notabene tempat ibadah umat Islam tentu saja ada kelompok lain yang mungkin berseberangan.

Polemik tentang politisasi masjid semakin ramai menjelang pemilihan Presiden 2019. Kegiatan ceramah agama ini dianggap mempunyai pengaruh besar ketika pemilihan Kepala Daerah, Gubernur DKI Jakarta yang kemudian dimenangkan Anies Baswedan. Banyak orang khawatir kegiatan sama akan dilakukan saat Pilpres. Sebuah pembicaraan yang sebenarnya cukup sensitif, apalagi jika menyinggung wacana tentang menyeragamkan ceramah dan khutbah Jum’at di masjid-masjid seluruh Indonesia yang sempat beredar.

Menurut Rumadi Ahmad, Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Nahdhatul Ulama, yang dilansir BBC News, pada April tahun lalu, masjid adalah ruang privat masyarakat dan pemeluk agama. Tidak perlu ada pengaturan dan penyeragaman ceramah, karena seharusnya sudah dapat diurus oleh ormas-ormas yang ada, seperti NU dan Muhamadiyah.

Meskipun pada akhirnya tidak pernah ada Undang-Undang yang mengatur tentang ceramah dan khutbah dalam masjid, perhatian tentang politisasi masjid tidak surut. Apalagi, seorang tokoh Muhamadiyah terkenal, Amin Rais pernah membuat pernyataan bahwa politisasi sangat mutlak dilakukan. Pernyataan yang diucap[kab ketika menghadiri Tasyakuran Ustadzah Peduli Negeri di Balai Kota DKI Jakarta, juga sekitar bulan April tahun lalu, sontak membuat banyak orang berang dan terkejut.

Secara tidak langsung Amien Rais meminta para ustadzah yang hadir untuk menyampaikan pada umatnya, dalam pengajian, untuk mendukung pasangan calon tertentu. Di lain kesempatan, Amin  memberikan alasan bahwa dalam Islam, segala sesuatu di dunia harus diusahan.  Pendidikan, ekonomi, kekuasaan, dan lain-lain untuk dunia.  Di akhirat, orang muslim tinggal memetiknya.  Jadi, segala sesuatu harus diusahakan, seperti kutipan Amien berdasarkan Quran surat Ar Ra’d ayat 11, Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum jika kaum tersebut tidak mengubahnya sendiri.

Berbeda dengan Amien Rais, Guntur Romli, seorang tokoh intektual muda NU sekaligus anggota partai baru, Partai Solidaritas Indonesia, sangat tidak setuju dengan perlunya menyampaikan hal-hal yang berbau kekuasaan di masjid. Artinya, Guntur beranggapan, masjid adalah tempat segala amal ibadah dan belajar agama di luar kekuasaan. Menurut Guntur lagi, politisasi masjid dengan ulama yang terlibat di dalamnya merupakan alat manipulasi kekuasaan. Ulama diperalat untuk mendukung pihak tertentu, khususnya yang bertentangan dengan pemerintah.  Hal ini akan membahayakan dan pasti akan memecah belah bangsa.

Sebagai masyarakat awam, bagaimana kita menyikapinya? Sepertinya ada dua benang merah di sini.  Pertama, politisasi masjid untuk kepentingan pribadi dan kelompok dan politisasi masjid untuk menumbuhkan kesadaran politik masyarakat.

Benang merah pertama, politisasi masjid yang mungkin disebut oleh Guntur Ramli di atas.  Sesuatu yang dapat menimbulkan konflik dan memecah belah umat Islam.  Ke depan dapat memecah belah Bangsa Indonesia. 

Contoh hal ini banyak sekali di negara lain.  Misalnya, di Suriah di mana satu kelompok agama menyerang sebuah masjid yang dianggap berbeda pandangan tentang kekuasaan tertentu. 

Kasus yang sedikit berbeda terjadi di Sudan.  Sudan dilanda kerusuhan tentang Presiden Omar al Bashir yang telah berkuasa di sana selama 30 tahun.  Kelompok massa kerusuhan menyerang seorang ulama di Masjid Khatim al Mursaleen, Sudan, Awal januari 2019. Tokoh pemuka agama, Abdul Hai Yousuf, diserang massa karena dianggap berada di pihak pemerintah. Justru, massa yang menyerang menuntut Yousuf untuk berjuang bersama dan memimpin mereka dari masjid.

Sudah tepat apa yang dilakukan oleh KPU dan Bawaslu pada jelang Pilpres 2019 ini. Pada UU Nomor 7 tahun 2017, disebutkan bahwa kampanye tidak boleh dilakukan di masjid dan tempat-tempat pendidikan. Ini menengahi semua konflik yang terjadi tentang politisasi masjid.

Benang merah kedua, politisasi masjid yang disebut oleh seorang tokoh, Kapitra Ampera.  Kapitra sependapat dengan Amien Rais bahwa Islam dan politik sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Islam adalah agama yang mneyeluruh. Politik dan kekuasaan yang akan menentukan nasib umat di kemudian hari, seperti kebebasan beragaman, ekonomi, dan pendidikan. 

Lebih lanjut, Kapitra sering menjelaskan bahwa ketika pemegang kekuasaan adalah orang yang bertentangan dengan kehendak umat secara menyeluruh, maka bangsa juga hancur. Agama, umat, ekonomi, dan pendidikan, perlahan akan jatuh. 

Meskipun demikian, terdapat perbedaan pendapat antara dia dengan Amien Rais. Kapitra Ampera tidak setuju dengan politisasi masjid yang memecah-belah umat, membuka aib seseorang, bahkan menfitnah lawan.  Dia menyebutnya sebagai politik ulama atau tokoh yang kebablasan. Dalam ajaran Islam tidak diajarkan untuk saling menjatuhkan demi kekuasaan dengan jalan memfitnah. 

Berdasarkan hal tersebut, meski tidak mewakili seluruh umat Islam, politisasi masjid diperlukan dalam rangka membangkitkan kesadaran politik. Memberi pengertian, misalnya bahwa hak pilih berada ditangan rakyat pada Pilpres dan Pileg 2019 yang akan datang. Ulama mengajak masyarakat untuk memilih dengan hati nurani, agama, dan keyakinan masing-masing.  Ini penting, jangan sampai hasil pemilu tidak sesuai harapan rakyat dikarenakan banyak orang memilih Golput.

)* Penulis adalah Pemerhati sosial Politik

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button

Adblock Detected

Kami juga tidak suka iklan, kami hanya menampilkan iklan yang tidak menggangu. Terimakasih