Sendi Bangsa

Radikalisasi Masjid Harus Dihilangkan

Oleh : Moh. Ikhsan )*

Kamus Merriam Webster mengartikan “radikal” sebagai opini atau perilaku orang yang menyukai perubahan ekstrem, khususnya dalam pemerintahan / politik. Sedangkan dalam Oxford  Dictionary, memahami bahwa ‘radikal’ sebagai orang yang mendukung suatu perubahan politik atau perubahan sosial yang menyeluruh, seorang anggota dari suatu partai politik yang melakukan upaya tersebut.

            Center for The Prevention of Radicalization Leading to Violence (2018) menyebutkan bahwa dalam proses radikalisasi, orang mengadopsi sistem kepercayaan yang ekstrem, termasuk keinginan untuk menggunakan, mendukung, dan memfasilitasi kejahatan dengan tujuan untuk mempromosikan ideologi, proyek politik atau perubahan sosial. Sementara menurut Bartol (2017) radikalisasi adalah proses indoktrinasi terhadap individu sehingga ia menerima ideologi dan misi kelompok radikal tertentu. Orang yang terindoktrinasi secara bertahap akan memaklumi aksi – aksi kekerasan yang dilakukan kelompok yang mengindoktrinasinya.

Badan Intelijen Negara (BIN) melalui Juru Bicaranya, Wawan Purwanto, mengakui hasil riset lembaganya, yang menyebutkan bahwa 41 masjid di lingkungan kantor pemerintah maupun kementrian terpapar radikalisme, merupakan pengembangan dari kesimpulan survei Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat. Namun pihaknya mengklarifikasi informasi yang semula disampaikan oleh Kasubdit Direktorat 83 BIN, Arief Tugiman tersebut. Wawan mengklaim BIN tidak menyimpulkan 41 masjid tersebut terpapar radikalisme. Lembaganya hanya mengidentifikasi penceramah pada masjid – masjid itu yang masuk dalam kategori radikal.

            Penjelasan akan 50-an penceramah yang masuk dalam kategori radikal tersebut berdasarkan isi ceramah mereka, dirinya mencontohkan hal itu terlihat dari kebiasaan para penceramah yang mengutip ayat – ayat perang dan menyuarakan untuk memberikan dukungan kepada ISIS. Meski termasuk dalam kategori yang bisa ditolerir, para penceramah tersebut patut diawasi. Wawan juga menuturkan bahwa BIN mengeluarkan hasil survey tidak untuk membuat kegaduhan. Ia mengatakan hasil survey itu perlu dipublikasikan untuk meningkatkan kewaspadaan saja.

            P3M dan Rumah Kebangsaan juga merilis survey, dimana terdapat 6 topik radikal yang paling populer atau paling banyak ditemukan pada khutbah jumat di masjid – masjid pemerintah. Diantaranya ujaran kebencian, sikap negatif terhadap agama lain, sikap positif (penerimaan) terhadap paham khilafah, sikap negatif terhadap kaum minoritas, kebencian kepada minoritas dan sikap negatif terhadap pemimpin perempuan.

Selain itu, BIN juga telah menemukan indikasi penyebaran paham radikalisme di 7 kampus. Data tersebut merupakan hasil survey pada 50 perguruan Tinggi Negeri di 15 Provinsi di Indonesia. Namun data tentang PTN yang dimaksud hanya disampaikan kepada pimpinan Universitas tersebut gua menghindari hal – hal yang merugikan universitas tersebut.

            Azyumardi Azra, Cendekiawan Muslim dan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah menyatakan, benih radikalisme di kampus tumbuh karena makin berkembang organisasi mahasiswa berpandangan kanan, Tak hanya HTI, organisasi Mahasiswa seperti Lembaga Dakwah Kampus dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia pun jadi pintu masuk penyemaian bibit radikalisme. Azra juga menambahkan, bahwa pimpinnan universitas harus mengontrol fasilitas kampus, seperti masjid maupun ruang – ruang pertemuan. Sehingga jangan diberikan sebebas – bebasnya kepada mahasiswa karena masjid dan bahkan student center  bisa digunakan untuk kegiatan – kegiatan radikal.

            P3M juga menggarisbawahi bahwa survey khotbah bermuatan radikal, ujaran kebencian, dan intoleransi itu dipantau sebatas dari kegiatan khotbah Jumat-nya. Artinya, bisa jadi masjid – masjid yang terindikasi radikal tidak benar – benar radikal. Tak semua radikalisme beserta proses radikalisasi melahirkan kekerasan, karena dinamika kehidupan personal memang berbeda – beda. Relasi individu dan lingkungan di sekitarnya, proses pengadopsian ideologi dan tingkat kepercayaan terhadp penggunaan kekerasan demi tujuan yang ingin dicapai adalah beberapa dari sekian banyak faktor yang mendorong radikalisasi.

Masa depan Indonesia bergantung dengan upaya saat ini untuk menyiapkan generasi penerus agar memiliki daya tahan dalam menghadapi dan menangkal paham radikal yang mengancam kehidupan berbangsa. Kemdikbud bersama dengan Kementerian Agama dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) juga telah menandatangani nota kesepahaman tentang pencegahan paham radikal dan intoleransi di lingkungan sekolah.

Hal yang tak kalah penting adalah memberikan pemahaman yang sebenarnya tentang demokrasi, bahwasanya demokrasi yang kita anut adalah demokrasi Pancasila dan hal ini harus dipahami dengan baik. Pemahaman akan Pancasila harus digalakkan pada setiap jenjang pendidikan, karena sejatinya paham radikalisme bertujuan untuk merusak ideologi Pancasila yang merupakan dasar negara.

Fenomena masjid yang terpapar paham radikalisme juga dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Setara Institute. Direktur Riset Setara Institute, Halili menyatakan, paham radikalis di Indonesia hingga ke tempat Ibadah sebenarnya terjadi sebagai warisan dari pergantian rezim di masa reformasi. Pasca reformasi berhasil menggulingkan orde baru, ada ketidakjelasan antara batasan kebebasan dengan proteksi arena – arena publik dari infiltrasi ideologi.

Pihaknya mencontohkan praktik radikalisme dengan penyebaran doktrin takfiri. Mereka yang meyakini doktrin ini dapat dengan mudahnya menyebut orang lain yang bersebrangan dengan pandangannya sebagai kafir. Sifatnya yang ekslusif membuat penganutnya cenderung menutup diri dari perbedaan.

Hal inilah yang kemudian menghancurkan sikap toleransi dalam masyarakat Indonesia yang tadinya memandang perbedaan sebagai sesuatu yang wajar dan biasa. Halili juga meyakini bahwa munculnya intoleransi dalam masyarakat inilah yang menjadi pemicu berkembangnya terorisme dan radikalisme di Indonesia.

Untuk melenyapkan radikalisme di lingkungan masjid, tentu dibutuhkan sinergitas antar kementerian dan lembaga. Hal ini dikarenakan ada beberapa faktor yang memicu kemunculan radikalisme di Indonesia, seperti pemahaman agama, ketidakadilan hingga kemiskinan. Pemahaman agama yang dangkal dan keliru merupakan faktor utama merebaknya radikalisme hingga terorisme di Indonesia.

*Penulis adalah Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button

Adblock Detected

Kami juga tidak suka iklan, kami hanya menampilkan iklan yang tidak menggangu. Terimakasih