Radikalisme dan Tanggung Jawab Kolektif
Oleh: Ardian Wiwaha )*
KTT Ke-31 ASEAN yang berlangsung bulan November silam di Manila, Filipina, menyoroti soal terorisme, radikalisme, dan ekstremisme karena berkaitan dengan keamanan di kawasan Asia Tenggara. Presiden Filipina Rodrigo Duterte dalam pidato pembukaan KTT yang berlangsung di Philippines International Convention Center Manila, menyerukan kepada pemimpin negara-negara ASEAN dan mitra untuk bertindak sungguh-sungguh melawan terorisme yang mengancam perdamaian dan stabilitas di kawasan Asia Tenggara. Ia memaparkan pendudukan Kota Marawi selama lima bulan oleh kelompok teroris berusaha merebut kota berpenduduk mayoritas muslim itu secara umum terinspirasi dari kelompok ISIS di Irak dan Suriah. Kelompok teroris berupaya membangun sebuah kubu di Filipina dan di kawasan Asia Tenggara. Sebelum terhambat dan berkembang di Indonesia, mari kita antisipasi dan lawan aksi tabi’at kelompok radikal dan teror terlebih menjelang natal dan tahun baru yang acapkali dijadikan momen paling tepat untuk melancarkan aksi “amaliyah”.
Mengantisipasi Bibit Teror Sejak Dini
Pembahasan perihal terorisme berarti berkaitan erat dengan pembahasan ideologi seseorang. Terorisme yang dewasa ini berkembang masif dan bersifat sporadis menunjukan bahwa terorisme cenderung bersifat tertutup dan tertuju pada kepercayaan seseorang, dimana untuk aspek ini, faktor pendidikan merupakan kunci nyatanya. Memang dapat dibenarkan bahwa perilaku terorisme bermula kepada pemikiran-pemikiran yang ekstrim dan radikal atau mengakar yang keberadaannya didominasi oleh kelompok anak usia muda atau teenager.Namun, pemikiran radikal dan ekstrim yang seharusnya dapat menciptakan inovasi dan berdampak positif untuk orang-orang disekitarnya, justru malah berbanding terbalik bahkan cenderung bersifat kontra produktif akibat kurangnya ilmu dari pemahaman sesuatu hal. Tak ayal bahwa pemahaman dan ilmu yang kurang dimiliki oleh anak muda, acapkali dimanfaatkan oleh kelompok jaringan terorisme, untuk menyelewengkan pemahanan hingga merekrut anak-anak muda Indonesia, untuk dijadikan “pengantin” pada rencana aksi teror yang telah diskenariokan. Hal yang wajar apabila dalam koridor ini, selaku orang terdekat dan memiliki peran andil yang besar, orang tua merupakan media awal yang dapat memberikan pengertian sekaligus pendidikan bagi anak-anaknya perihal bahayanya kegiatan atau aksi yang mengarah ke aksi teror. Namun bukan berarti pola perilaku anak untuk bergaul dan bermain malah justru dibatasi, berikan mereka kebebasan berkespresi namun tetap diperhatikan serta tak lupa memberikan pembelajaran.
Tertib Adminstrasi
Tak cuma orang tua, tokoh agama, tokoh masyarakat dan/atau tokoh adat yang memiliki posisi dan bargaining position diinternal masyarakat, juga berperan penting dalam menghalau derasnya perkembangan ideologi terorisme.
Cukup dengan menggalakan budaya sosialisasi dan mengenal penduduk disekitar, serta tak lupa melakukan pendataan secara aktif terhadap mobilisasi sekaligus dinamika penduduk dimasyarakat.
Memang untuk kalangan masyarakat kota seperti Jakarta, Yogyakarta ataupun Surabaya memiliki kesulitan tersendiri untuk melakukan tertib administrasi dalam melakukan pendataan penduduknya, namun tidak ada salahnya apabila slogan “Tamu, Wajib Lapor 24 Jam” di core terkecil masyarakat yakni RT/RW harus terus digalakan.
Menjaga Persatuan dan Kesatuan
Pernyataan perihal Indonesia merupakan negara yang majemuk atau heterogen memang layak disandangkan kepada ibu pertiwi. Namun bukan berarti dengan banyaknya warna di internal masyarakat Indonesia, hal tersebut malah justru menjadi bumerang sehingga dapat memecahbelah persatuan dan kesatuan diantara kita yang telah berjalan sekitar 71 tahun. Menyikapi perbedaan dengan arif dan bijaksana, merupakan sifat termudah yang harus dimiliki oleh masyarakat indonesia. Sentimentil atau rasa intoleransi yang semakin menggrogoti kehidupan berbangsa dan bermasyarakat harus lah secara perlahan mulai diredusir dan dihilangkan. Perlu diingat bahwa berdirinya bangsa indonesia bukan atas dasar satu suku, satu golongan atau satu agama tertentu. Namun perlu diingat bahwa, berdiri kokohnya bangsa Indonesia saat ini merupakan peran dari sebuah suku, golongan dan agama diseluruh penjuru negeri yang bersatu padu melawan penjajah, sehingga berdiri bangsa ini Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pancasila Selaku Filter
Tidak dapat dipungkiri bahwa globalisasi dan moderenisasi di era masyarakat Indonesia sekarang berdampak langsung terhadap mudahnya akses informasi dan komunikasi di internal penduduk dalam negeri. Penggunaan smartphone dan internet yang merajarela, tak ayal membuat mayarakat Indonesia secara dominan diperbudak oleh kemajuan media elektronik. Wajar saja apabila perkembangan informasi baik yang bersifat edukatif hingga bersifat destruktif, mudah untuk diakses dan ditemui di media elektronik zaman sekarang. Berita dari berbagai penjuru negeri berkumpul menjadi satu yang dapat diibaratkan sebagai pusaran angin topan yang secara massif dapat menarik orang-orang atau kelompok masyarakat yang tidak memiliki basic pengetahuan dalam memahami apalagi menyerap informasi. Dapat dibenarkan bahwa secara riset statistik, pengetahuan radikal dan ekstrim yang terbangun di internal masyarakat 85 persen berasal dari informasi media sosial. Oleh karena itu, kecerdasan dalam memilah dan memilih informasi serta meletakkan Pancasila selaku filter utama untuk menyerap informasi, diharapkan dapat meminimalisir pemikiran hingga konsep pemahaman ekstrimis yang dapat membahayakan NKRI.
Deradikalisasi Integratif
Mengutip salah satu pernyataan tokoh pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Kertopati, bahwa penangangan terhadap aktifitas dan kegiatan terorisme tidak hanya dilakukan oleh satu atau dua subjek saja. Namun peranan TNI, Polri, BIN, serta ke-17 Kementerian terkait lainnya memang dibutuhkan untuk membuat konsep dan penanganan terorisme yang bersifat holistik dan integratif. Sehingga penanganan perihal terorisme tidak hanya “mentok” pada bagian surface atau permukaan saja, namun pemikran radikal dan ekstrimis memang juga harus dibasmi dengan pendekatan yang radikal dan mengakar kepada masyarakat.
Wajar apabila Indonesia dapat dikatakan dalam kondisi darurat terorisme saat ini. Karena tanpa adanya peranan dari seluruh aspek dan golongan diinternal masyarakat, mimpi untuk membasmi kegiatan teror di bumi Pancasila hanya akan menjadi sebuah konsep dan pemikiran yang bersifat utopis semata.
)* Mahasiswa FISIP Universitas Indonesia