Tabloid Kaffah, Ancaman Berkembangnya Paham Radikal di Masjid
Oleh : Ali Shihab )*
Masjid memiliki fungsi sebagai pusat kegiatan masyarakat. Apabila dalam masjid tersebut masih ada bau – bau radikalisme, maka hal itu harus dicegah oleh banyak pihak salah satunya adalah peran tokoh agama seperti kiai. Radikalisme di masjid tidak hanya dilakukan dengan cara menyisipkan materi ceramah yang terdapat unsur anti Pancasila, namun pergerakan seperti tersebarnya buletin di masjid nyatanya memberikan ruang penganut paham radikal untuk menyebarkan dogma – dogma yang diyakininya.
Masjid juga memiliki peran sebagai basis sosial untuk memupuk persatuan dan solidaritas umat muslim. Selain itu, masjid juga menjadi basis personal bagi individu yang ingin memperbaiki dirinya, akidahnya dan perilakunya. Sehingga salah satu fungsi dari masjid adalah tempat untuk memperbaiki moral. Meski Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sudah resmi dibubarkan dan dilarang oleh pemerintah, namun pergerakan mereka masih eksis menyebarkan ajaran – ajarannya dengan menyebarkan Buletin Kaffah. Diketahui bahwa Buletin Kaffah juga disebar di Masjid Bandara Halim Perdana Kusuma Jakarta.
Pada edisi perdananya Agustus 2017, Buletin Kaffah memberikan judul besar pada salah satu tulisannya, “Islam Kaffah”. Dalam artikel tersebut tertulis bahwa kaum Muslim diperintahkan untuk hanya melaksanakan seluruh syariah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Selain itu tulisan yang perlu digarisbawahi adalah tulisan yang berbunyi ‘Tak sepatutnya kaum Muslim mempraktikkan aturan – aturan lain yang bersumber dari Barat yang diajarkan oleh Motesquie, Thomas Hobbes, John Locke dll yang melahirkan sistem politik demokrasi, atau yang diajarkan John Maynard Keynes, David Ricardo, dll yang melahirkan sistem ekonomi kapitalisme.
Sejatinya HTI memang sudah dibubarkan oleh pemerintah, tapi apakah ide tentang khilafah juga dapat dibubarkan? Jika buletin seperti itu masih ditemukan di masjid yang sejatinya merupakan tempat ibadah. Ibadah ritual menekankan aspek niat dan formalitas. Niat semata – mata mencari keridhaan Allah SWT. Adapun formalitas terkait dengan tata cara ibadah. Niat menentukan diterima atau ditolak ibadah secara batin, sedangkan formalitas menilai absah atau tidak ibadah secara lahiriyah. Masjid yang terindikasi terpapar paham radikal memiliki ciri – ciri seperti materi khutbah atau ceramah yang memecah belah persatuan bangsa dan adanya ujaran kebencian pada kelompok tertentu.
Banyaknya masjid yang terpapar paham radikalisme yang terjadi, disebabkan oleh kelompok Islam moderat yang jarang berdakwah atau membuat ceramah / kajian. Kondisi inilah yang dimanfaatkan kelompok lain yang beraliran Wahabi untuk menguasai masjid – masjid tersebut lalu menyebarkan materi berbau radikal melalui ceramah atau khutbah. Fungsi negara adalah menurus kemaslahatan warga negara, mengatur mereka agar harmonis, menjaga dari segala macam gangguan serta melindungi dari ancaman baik dalam maupun luar negeri, yang menjadi pokok / inti dari ibadah kenegaraan adalah terwujudnya kemaslahatan, ketentraman dan keamanan warga negara.
Hal ini tentu memberikan pesan bahwa masjid sudah sepatutnya mengambil peran dalam menjaga perdamaian para jamaah, agar tidak terpecah belah sehingga dapat muncul permusuhan yang sangat merugikan. Secara teknis tentu tidak benar bahwa ajaran khilafah yang ditulis pada buletin kaffah merupakan sistem kenegaraan Islam. Nabi Muhammad SAW tidak menyebut pemerintahannya sebagai khilafah, sedang para sahabat juga tidak memaksudkan khilafah itu sebagai sebuah sistem namun hanya sebagai sebutan pengganti kepemimpinan.
Para pengurus atau takmir masjid tentu memiliki tugas untuk berdakwah, namun disisilain dakwah yang disampaikan pada para jamaah semestinya dapat memberikan keteduhan, bukan lantas memanas karena perbedaan ideologi. Pengusung “Khilafah” tersebut memelintir istilah sejarah dan memplesetkan makna Al – Qur’an dengan amat sembrono. Selanjutnya, sadar atau tidak, mereka telah membohongi dan menyesatkan orang dengan pemahamannya.
Perihal menegakkan khilafah merupakan kewajiban menurut Islam adalah propaganda khas para pengikut HTI. Pada Februari 2018 di Jombang Jawa Timur, masih ditemukan kegiatan membagi – bagikan buletin tersebut kepada para jamaah ibadah shalat jumat. Buletin tersebut bernama kaffah yang merupakan buletin HTI terdahulu yang bernama Al – Islam, perubahan nama ini erat kaitannya dengan pembubaran organisasi anti Pancasila. Pembagian buletin tersebut biasa terjadi di depan Masjid Baitul Mukminin Alun – Alun Jombang. Seusai menunaikan sholat Jumat, dua orang dengan memegang lembaran buletin tersebut lebih awal turun dari masjid. Selanjutnya, mereka membagi – bagikan buletin tersebut kepada sejumlah jamaah setelah mayoritas dari mereka turun dari masjid.
Selain Buletin Kaffah ini disebarkan, majalah HTI yang bernama Media Umat pun terus disebarkan ke penjuru Indonesia. Anehnya, nama KH Ma’ruf Amin didaulat sebagai dewan penasehat dalam majalah Media Umat tersebut. Dengan beredarnya Buletin Kaffah yang masih mengajarkan tentang khilafah tersebut, masyarakat tetap berhati – hati dalam membangun tulisan yang ada di dalamnya. Jika menemukannya, jangan sampai disebar ulang kepada orang awam. Tentu dalam hal ini kita berharap besar kepada aparat yang memiliki kewenangan untuk menindak tegas kepada pembuat dan penyebarnya, hal tersebut dikarenakan dapat mengancam keutuhan Republik Indonesia.
Demokrasi di Indonesia memang menjamin kebebasan, namun tetap ada rambu – rambut dan batas yang harus ditaati. Batasan tersebut adalah tidak mengganggu kebebasan orang lain. Oleh karena itu, gerakan penyebaran paham radikalisme baik di lingkungan masjid atau di lingkungan manapun jelas tidak boleh diizinkan karena menodai keamanan yang ada di masyarakat. Para pengurus masjid atau takmir juga perlu diberikan pemahaman tentang apa itu radikalisme, dan bagaimana cara mencegah paham radikalisme. Hal ini perlu diupayakan dalam rangka menjaga situasi bangsa tetap kondusif. Harapannya masjid bisa menjadi sarana untuk memakmurkan masyarakat.
)* Penulis adalah Mahasiswa Universitas Mercu Buana