Tangkal Radikalisme Dengan Nasionalisme
Oleh : Zakaria )*
Paham radikal adalah paham merupakan virus berbahaya, sehingga hal ini memerlukan penanganan serius agar tidak menyebar ke masyarakat. Salah satunya adalah dengan memupuk rasa nasionalisme. Mulai dari pendidikan bela negara, Pancasila hingga budaya yang ada di NKRI.
Di zaman serba medsos ini, tentu saja siapapun dapat dengan mudah terpengaruh atau mempengaruhi orang lain. Khususnya dengan hal-hal baru seperti tafsir ayat yang dikemas untuk memojokkan kelompok tertentu.
Pengamat Politik Timur tengah dari Universitas Indonesia Smith Alhadad mengatakan, tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia semakin menurun. Hal inilah yang mengakibatkan orang berbondong-bondong pergi ke negara Timur Tengah yang dianggap negara kaya.
Menurutnya, kesalahan pandangan inilah yang mendorong masyarakat untuk bergabung dengan organisasi radikal ISIS dengan harapan agar mendapatkan pendapatan secara ekonomi yang lebih baik.
Bahkan mereka juga terbang ke Suriah juga membawa serta anak dan istrinya. Mestinya jika tujuannya jihad, tentu saja mereka tidak akan mengajak serta anak dan istrinya.
Cuci otak yang dilakukan oleh ISIS-pun terbilang sangat ekstreme, karena sebagian WNI yang sudah terbang ke Suriah justru memilih untuk membakar passpor-nya. Kalau sudah begini tentu saja mereka enggan untuk kembali ke Tanah Air yang memiliki beragam kebudayaan dan menjunjung demokrasi.
Meski paham radikal tidak sepakat terhadap demokrasi, kelompok radikal justru menggunakan narasi politik. Anak-anak muda yang sedang krisis identitas atau merasa galau karena melihat adanya ketidakadilan, akan mudah sekali didorong melakukan jihad.
Faktor selanjutnya adalah mudahnya akses internet yang semakin cepat. Khususnya anak muda yang mudah galau cenderung mengandalkan internet untuk mendapatkan informasi yang tidak terbendung.
Sedangkan ISIS, kala itu mengoptimalkan internet untuk menyebarkan ideologi dan melakukan perekrutan melalui penyebaran video jihad dan pemahaman mereka yang tidak sejalan dengan Pancasila.
Parahnya, mereka akan menggunakan narasi psikologis yang mengglorifikasi tokoh-tokoh kekerasan sebagai pahlawan atau mujahid. Singkatnya, mereka akan dengan lembut menyebarkan narasi yang menganggap bahwa kekerasan itu bisa menjadi solusi dalam memecahkan masalah.
Pada 2018 lalu Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah menghapus 1.285 konten-konten terkait dengan radikalisme dan terorisme di media sosialm, Ribuan konten tersebut, tersebar dalam berbagai platform. Kominfo bahkan mengintensifkan patroli konten di media sosial sejak aksi teroris yang melibatkan anak-anak dibawah umur di Surabaya.
Pada kesempatan berbeda, kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafli Amar menuturkan, agar karyawan perusahaan dibekali pengetahuan tentang gejala dan indikasi radikalisme untuk mencegah dan memutus mata rantai paham tersebut.
Hal ini dikarenakan paham radikalisme dan terorisme bisa menyasar siapapun termasuk kelompok karyawan perusahaan.
Meski demikian, Boy juga menegaskan bahwa tidak ada tendensi untuk menaruh curiga apalagi menuduh adanya radikalisme di lingkungan perusahaan swasta. Namun, pencegahan ini harus berangkat dari kesadaran bahwa tidak ada satu-pun masyarakat yang imun dari pengaruh paham radikal.
Boy Rafli Amar juga menuturkan, kaum radikalis masih tetap menyebarkan ideologinya dengan menggunakan isu covid-19 sebagai bukti dekatnya hari kiamat agar umat bergabung dengan mereka. Selain itu mereka juga semakin aktif bergerak di dunia media sosial sebab banyak masyarakat yang online di rumah sebagai dampak dari PSBB yang pernah diterapkan oleh pemerintah.
Pada kesempatan yang lain, Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila Bambang Soesatyo memandang perlu pendekatan khusus untuk mencegah generasi muda terpapar paham radikal.
Pendidikan kebangsaan juga harus kembali digalakkan, mengingat ideologi radikalisme bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Sehingga sumpah mahasiswa yang hendak membangun negara khilafah yang meniadakan umat beragama lainnya, jelas hal tersebut bertentangan dengan ideologi pancasila yang menjunjung tinggi keberagaman dan kebhinekaan sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dari sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa sudah jelas maksudnya, yakni memberi landasan bagi setiap manusia Indonesia untuk memaknai kepercayaan terhadap keberadaan sang pencipta dengan caranya masing-masing.
Kita wajib bersyukur tinggal di Indonesia yang menjunjung tinggi keberagaman. Jangan sampai semangat toleransi terhadap perbedaan, dirusak oleh paham radikal yang menjunjung sikap intoleran namun menolerir aksi kekerasan.
)* Peenulis adalah warganet tinggal di Bogor