Tangkap Provokator Demo di Masa Pandemi
Oleh : Faruq Arfiansyah )*
Demonstrasi di masa pandemi Covid-19 membahayakan banyak pihak karena rentan menciptakan kluster baru Covid. Masyarakat pun mendukung aparat penegak hukum untuk menindak tegas provokator demo di masa pandemi Covid-19.
Sebagai negara demokrasi, Indonesia memperbolekan rakyatnya untuk mengemukakan pendapat, termasuk dengan cara demonstrasi. Namun saat pandemi, kegiatan ini tentu dilarang keras karena ada kerumunan. Termasuk saat demo anti PPKM mikro di Ambon, di mana provokator unjuk rasa langsung dicokok.
Demo yang berlangsung tanggal 16 Juli 2021 lalu berlangsung panas. Ratusan mahasiswa ngotot agar pemerintah menghentikan PPKM mikro. Bahkan unjuk rasa dilakukan dalam 2 tahap, pertama pada pagi hari dan selanjutnya setelah jum’atan, dan berlokasi di depan kantor wali kota Ambon.
Kapolresta Pulau Ambon Kombes Pol Leo SN Simatupang menyatakan bahwa ada 3 pendemo yang ditangkap karena ia bertindak sebagai provokator. Mereka akan diperiksa dan belum tentu dilepaskan begitu saja. Penyebabnya karena mereka memprovokasi banyak orang saat demo.
Kombes Pol Leo melanjutkan, semua pihak bisa menyampaikan aspirasi tanpa harus demo. Polisi tidak akan memberikan izin unjuk rasa saat pandemi, karena menuruti Instruksi Mendagri, ditambah juga dengan Instruksi Wali Kota Ambon plus UU Karantina. Apalagi Ambon termasuk daerah yang terkena zona PPKM sehingga demonstrasi haram hukumnya.
Massa akhirnya membubarkan diri dan polisi membujuk mereka yang masih bertahan untuk pulang. Mereka sadar dan tidak melanjutkan demo karena polisi juga bersikap simpatik, dan tidak sampai ada kejadian yang parah seperti pembakaran ban atau yang lain.
Masyarakat mendukung penangkapan provokator karena ia memanas-manasi massa untuk merangsek ke depan dan melanjutkan demo. Padahal sudah jelas tidak ada izinnya, sehingga wajar jika acara ini dibubarkan. Jika provokator tidak ditangkap maka dikhawatirkan keadaan akan makin panas dan akan terjadi kerusuhan serta pelemparan batu.
Oleh karena itu, provokator langsung ditangkap, untuk tindakan preventif. Bisa jadi mereka yang jadi penghasut bukanlah mahasiswa, melainkan oknum yang menyaru, sehingga menyebabkan keadaan saat demo makin panas. Jangan sampai unjuk rasa diboncengi oleh pihak lain yang memiliki kepentingan politis tertentu, karena bisa dibelokkan jadi aksi yang membahayakan.
Provokator juga masih diinterogerasi, apa benar mereka berstatus mahasiswa atau hanya orang suruhan. Interogerasi penting untuk mengetahui, siapa di balik aksi tersebut. Jangan sampai ada yang jadi dalang dan tertawa-tawa, sementara pendemo yang menjalankan aksinya. Tindakan ini tentu tidak benar, karena akan menghapuskan perdamaian di Ambon.
Selain itu, demo di masa pandemi tentu dilarang karena berpotensi menyebabkan klaster corona baru. Tidak semua pengunjuk rasa tertib mengenakan masker, jika ada yang memakai bisa jadi hanya setengah alias tidak tertutup rapat, sehingga sangat berbahaya. Bisa jadi ia berstatus OTG sehingga menyebarkan virus covid-19 ke seluruh peserta unjuk rasa.
Kita tidak tahu siapa di antara pendemo yang berstatus OTG. Oleh karena itu, wajar ketika unjuk rasa dibubarkan oleh polisi. Ini bukanlah pelarangan demokrasi, melainkan bentuk pencegahan agar jangan sampai corona terus menyebar di Ambon. Jumlah pasien covid sudah terlalu banyak dan jangan sampai bertambah lagi.
Demonstrasi di Ambon yang dilakukan oleh mahasiswa jelas dibubarkan karena tidak memiliki izin resmi. Provokator juga wajar langsung ditangkap, karena ia berpotensi membuat massa jadi beringas. Jangan sampai tindakannya membuat berbagai kekacauan yang akhirnya merugikan masyarakat dan pemerintah daerah Ambon.
)* Penulis adalah kontributor Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini