Tegas Menolak Demonstrasi Anarkis
Oleh : Dewi Anggraini )*
Pasca Pengumuman pemenang Pemilu yang telah diumumkan pada 21 Mei 2019, kantor Bawaslu yang terletak di Jalan MH Thamrin didatangi sekelompok massa yang menolak hasil dari KPU.
Massa yang awalnya menyanyikan yel – yel. Sebagian massa juga mencoba merangsek kawat berduri. Polisipun telah mengamankan sejumlah orang yang diduga menjadi provokator kericuhan.
Polisi kemudian berhasil menghalau sejumlah massa. Kericuhan pun tak terelakkan. Belum diketahui pasti penyebab dari kericuhan tersebut.
Sejumlah Polisi lalu mengejar para pendemo yang diduga menjadi Provokator. Para pendemo lantas berhamburan ke sejumlah arah. Sebagian diantara mereka diamankan polisi, lalu dibawa ke arah kantor Bawaslu.
Sejumlah personel TNI juga ikut serta mengendalikan massa yang membuat kericuhan di kawasan Tanah Abang. Jakarta Pusat.
Pada Hari Rabu pukul 03.55, sejumlah massa terlihat melawan polisi dengan melemparkan petasan. Massa juga berusaha menembus pertahanan polisi yang menggunakan tameng. Aparat keamanan juga terus bergerak mendekati massa.
Negosiasi pembubaran massa ternyata tidak berhasil, akhirnya Kepolisian mengambil langkah tegas dengan memaksa aksi Bawaslu membubarkan diri.
Seorang Polisi juga memberikan peringatan melalui pengeras suara kepada warga yang tidak berkepentingan untuk membubarkan diri.
“Kami akan menembakkan gas air mata,” tutur Polsi memberikan peringatan.
Setelah peringatan itu pasukan yang telah bersiaga mulai bergerak maju. Di barisan terdepan enam orang Polisi lengkap dengan senjata pelempar gas air mata. Di belakangnya polisi tameng berbaris berjajar.
Massa yang tak memperdulikan imbauan Polisi yang meminta mereka membubarkan diri. Lantas membalas imbauan tersebut dengan lemparan bom molotov.
“Polisi bukan musuh kalian. Sudah Cukup. Sahur! Sahur! Sudah, Pulang!,” tutur seorang komandan polisi.
Suasana mencekam. Tak ada kendaraan bermotor yang melintas. Warga yang menyaksikan peristiwa ini dari pinggir jalan mulai dibubarkan, tak lama gas air mata ditembakkan ke kerumunan massa.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen M Iqbal mengatakan bahwa aksi yang terorganisir itu terbagi menjadi dua, yatu yang ingin melakukan secara damai dan yang ingin melakukan aksi melanggar hukum.
Mentri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto, menyatakan bahwa aksi unjuk rasa pada 22 Mei 2019 tidak dapat dibenarkan. Menurutnya, aksi yang merencanakan pengepungan KPU, Bawaslu, hingga Istana Negara tersebut merupakan kejahatan serius yang mengancam kedaulatan negara.
Dirinya juga mengakatan bahwa Aksi 22 Mei yang bertujuan untuk menolak hasil Pemilu 2019 tidak didukung masyarakat. Siapapun yang melakukan pelanggaran pada 22 Mei, harus bertanggung jawab di hadapan hukum.
“Siapapun harus bertanggungjawab dan menerima hukum yang berat,” tutur Wiranto.
Bahkan sebelumnya, Wiranto pernah menghimbau agar rencana Aksi 22 Mei tersebut dibatalkan. Sebab aksi tersebut hanya akan mencederai demokrasi yang sudah dibangun Indonesia.
Atas kerusuhan tersebut, Kepolisian Negara Republik Indonesia telah menetapkan status Jakarta Siaga Satu kepada seluruh jajarannya dalam menghadapi pengumuman hasil pemungutan suara tingkat nasional oleh Komisi Pemilihan Umum.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Polisi Dedi Prasetyo membenarkan soal status siaga I tersebut. Salah satu alasannya adalah terkait ancaman terorisme.
“Ya antara lain itu (terorisme), juga dalam rangka menjamin keamanan Jakarta,” tuturnya.
Status Siaga I merupakan situasi dimana pihak kepolisian menugaskan 2/3 kekuatannya untuk meningkatkan kewaspadaan. Mabes Polri menetapkan status Siaga I ini berlangsung selama 5 hari, yakni 21 hingga 25 Mei.
Dalam hal ini tentu hal yang paling rawan adalah adanya provokasi, demonstrasi tentu diperbolehkan. Kapolres Metro Jakarta Pusat. Kombes Harry Kurniawan mengatakan, bahwa awalnya massa demonstran berjalan baik hingga dibubarkan pada pukul 21.00 WIB. Namun kemudian ada massa yang secara tiba – tiba memancing – mancing dan merusak barrier. Karena itulah, pihak kepolisian membubarkan massa aksi yang masih bertahan.
Langkah yang diambil kepolisian tentu sudah tepat, bahwa polisi sebenarnya tidak ingin memaksa memukul mundur massa dengan water canon apabila unjuk rasa berjalan dengan damai dan tertib.
Namun keamanan masyarakat sudah pasti harus dijaga, karena berbagai upaya maupun aksi provokasi masih mungkin akan terjadi.
)* Penulis adalah pegiat media sosial