Polemik Politik

Bijak Bermedia Sosial, Hindari Politik Identitas

Oleh : Lukman Keenan Adar )*

Masyarakat diminta untuk lebih bijak dalam menggunakan media sosial. Selain menghindari berita hoaks, mereka juga wajib menjauhi politik identitas. Penyebabnya karena politik identitas bisa mengacaukan masa kampanye dan mengobarkan permusuhan di masyarakat.

Warganet di Indonesia masuk 5 besar dalam pengguna terbanyak di media sosial. Alangkah baiknya kemudahan interaksi di Twitter, Instagram dan Facebook digunakan untuk menyokong program pemerintah. 

Kekuatan di media sosial sangat besar karena 1 status di Facebook atau Twitter bisa dibaca ribuan orang dan 1 foto di Instagram bahkan dilihat jutaan netizen di seluruh dunia. Kemudahan koneksi dengan warganet lain sebaiknya kita gunakan untuk kampanye positif.

Dengan memahami kekuatan media sosial maka seharusnya masyarakat menggunakannya dengan bijak. Mereka tidak boleh menyalahgunakan akun media sosial untuk menyebarkan politik identitas, terutama selama kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. 

Pengertian dari politik identitas adalah ketika satu politisi yang menjadi calon anggota legislasi (caleg) atau calon presiden (Capres) menggunakan identitasnya untuk berkampanye. Misalnya ia mengunggulkan bahwa berasal dari ras tertentu, lulusan kampus tertentu, atau menganut satu keyakinan yang mayoritas.

Politik identitas bisa jadi penyebab kekacauan Pemilu karena masing-masing suku/golongan merasa dirinya paling baik, dan jadi bertikai satu sama lain. Hal ini yang membahayakan karena walau tiap WNI punya hak untuk mendukung caleg atau capres yang berbeda, bukan berarti harus berperang. Persatuan harus tetap diutamakan, meski pilihan politiknya beda-beda.

Masyarakat yang sudah teracuni oleh penyebaran politik identitas di media sosial berkampanye negatif dengan menyerang caleg atau capres lain yang dianggap sebagai musuhnya, lalu menampilkan narasi bahwa orang dari suku atau golongan tertentu tidak boleh menjadi presiden. Kampanye negatif seperti ini yang bisa menyebabkan gesekan ketika Pemilu berlangsung.

Peneliti Pusat Studi Agama dan Demokrasi (Pusad) Universitas Paramadina, Husni Mubarok, menjelaskan, politik identitas bisa berkembang pada rumor, ujaran kebencian, hingga hasutan kebencian. Bentuk-bentuk ini berpotensi mengarah pada dehumanisasi yang melegitimasi seseorang melakukan kekerasan.

Husni melanjutkan, kalau ada indikasi dehumanisasi atau kondisi tidak memanusiakan kelompok lain berdasarkan identitas, harusnya ditindak. Apalagi selama periode Pemilu, identitas seperti rumput kering yang mudah terbakar. Artinya, mudah sekali dimanfaatkan untuk menyerang orang lain, salah satunya melalui ujaran kebencian.

Dalam artian, penyebaran politik identitas harus dicegah, terutama di media sosial. Penyebabnya karena politik identitas bisa menyebabkan ujaran kebencian dan kampanye Pemilu makin panas karena ketiga kubu pendukung capres saling menyerang.

Contoh dari politik identitas di media sosial adalah ketika ada narasi bahwa hanya capres dari suku tertentu yang bisa menjadi presiden. Memang kampanye model ini bisa menaikkan pemilih dari suku yang sama. Namun dampak buruknya bisa memicu permusuhan dari suku lain karena ia tidak terima direndahkan oleh orang lain yang superior.

Politik identitas yang tersebar di media sosial sangat tidak sehat karena lebih banyak menimbulkan permusuhan daripada kenaikan suara pemilih. Permusuhan saat Pemilu bisa berakibat fatal karena menggagalkan program penting ini. Kemudian, permusuhan juga bisa mengobarkan dendam selama bertahun-tahun, bahkan setelah Pemilu selesai.

Masyarakat harus bijak dalam menggunakan media sosial dan menghindari politik identitas karena dendam pasca Pemilu sangat mengerikan. Media sosial berubah dari tempat untuk bergaul di internet, menjadi tempat permusuhan, saling umpat, dan memanggil dengan sebutan yang buruk.

Ketika ada pihak yang ngotot dalam mempromosikan politik identitas di akun media sosialnya maka ia berpotensi menyebarkan permusuhan. Hal ini sangat buruk karena ia bisa terkena UU ITE karena menyebarkan hoaks dan propaganda di internet. Ia harus mempertanggungjawabkan kesalahannya di dalam penjara.

Sementara itu, Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES, Wijayanto menjelaskan, umumnya politik identitas muncul pasca deklarasi capres dan cawapres. Menjelang Pemilu 2024 ini cukup berbeda. Polarisasi belum terlihat karena setahun pra Pemilu belum semua capres dan cawapres dideklarasikan oleh partai politik (parpol) pengusung.

Wijayanto melanjutkan, diskusi yang berkembang di masyarakat menjelang Pemilu menjadi tidak produktif. Masyarakat terpaku pada masalah politik identitas dan menyampingkan diskusi-diskusi substansial yang lebih penting seperti ketimpangan ekonomi, korupsi, masalah pajak, hingga kerusakan alam. Semua ini gara-gara penyebaran politik identitas di media sosial.

Politik identitas menggunakan identitas, seperti agama, ideologi, ras, etnis, dan budaya sebagai alat serta mobilisasi kepentingan politik. Dalam hal ini, opini masyarakat dimanipulasi untuk menjadi wadah sentimen-sentimen tersebut. Oleh karena itu masyarakat dihimbau untuk tetap bijak dalam menggunakan media sosial dan menghindari politik identitas. Jangan berkampanye negatif karena ada UU ITE.

Masyarakat terus dihimbau untuk menggunakan akun media sosial dengan baik dan jangan membuat kekacauan saat Pemilu, dengan cara menyebarkan politik identitas. Lebih banyak kerugian daripada keuntungan jika ada politik identitas. Jangan sampai Pemilu kacau, bahkan gagal, gara-gara kampanye politik identitas di media sosial.

)* Penulis adalah kontributor Persada Institute

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button

Adblock Detected

Kami juga tidak suka iklan, kami hanya menampilkan iklan yang tidak menggangu. Terimakasih