Wacana Penundaan Pembahasan RUU HIP
Oleh : Hananta )*
Wacana penundaan pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) patut diapresiasi.Langkah tersebut disebut sebagai upaya yang bijaksana dalam rangka menyerap aspirasi dari seluruh komponen bangsa. Bahkan, Pemerintah juga berencana untuk mengusulkan pencantuman TAP MPRS No XXV/MPRS/1996 ke dalam konsideran RUU HIP apabila legislasi sudah sampai pada pembahasan dengan pemerintah.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD menjelaskan, RUU HIP disusun oleh DPR dan masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2020. Tahapan saat ini, pemerintah belum terlibat pembicaraan dan baru menerima rancangan undang-undangnnya. Presiden juga belum mengirimkan surat presiden (Surpres) untuk membahasnya dalam proses legislasi.
Meski demikian, Mahfud mengatakan bahwa pemerintah sudah mulai mempelajarinya secara seksama dan sudah menyiapkan beberapa pandangan.
Mantan pimpinan MK tersebut menyatakan, apabila tahapan sudah mencapai pembahasan dengan pemerintah, maka pemerintah juga akan mengusulkan pencantuman TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1996 di dalam konsideran RUU HIP. Ia mengatakan, pelarangan komunisme di Indonesia bersifat final karena berdasarkan TAP MPR No I tahun 2003 tidak ada ruang hukum untuk mengubah atau mencabut TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1996.
Sebelumnya, Mahfud juga telah melakukan pembahasan RUU HIP terhadap sejumlah purnawirawan TNI di kantornya. Para purnawirawan itu menyampaikan pandangan tentang pentingnya pemerintah untuk terus menerus memelihara persatuan dan kesatuan Indonesia, serta menjaga kedaulatan dan ideologi negara.
Para purnawirawan yang terlibat dalam pembahasan tersebut secara khusus menanyakan tentang rancangan undang-undang Haluan Ideologi Negara (RUU HIP). Terkait dengan hal itu, Menko Polhukam menegaskan, RUU HIP adalah inisiatif DPR yang saat ini telah melakukan pembahasan terkait dengan daftar inventarisasi masalah (DIM) oleh pemerintah.
Pemerintah sendiri menurut Mahfud telah siap memberikan perhatian yang besar terhadap RUU ini. Sikap pemerintah tentu saja sama dengan sikap para purnawirawan TNI yakni tidak akan memberikan tempat kepada paham komunisme, marxisme, leninisme dan paham-paham radikal.
Ia juga memastikan bahwa tidak ada lembaga lain, termasuk MPR yang bisa mencabut Tap tersebut. MPR yang ada sekarang tidak memiliki wewenang mencabut Tap MPR yang dibuat tahun 2003 dan sebelumnya.
Dirinya juga mengajak masyarakat untuk bisa ikut berpartisipasi dalam mengkritisi isi RUU tersebut agar dapat benar-benar menguatkan Pancasila sebagai dasar ideologi negara. Untuk diketahui DPR sebelumnya telah menyepakati RUU HIP sebagai salah satu RUU inisiatif DPR yang masuk ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2020-2024. Berdasarkan draft ke-4 bahan rapat panja 20 April 2020, RUU HIP tersebut terdiri dari 58 pasal.
Mahfud juga menambahkan bahwa yang dapat memasukkan konsideran TAP MPRS adalah DPR sebagai pembuat usulan RUU HIP. Pemerintha belum bisa memasukkannya karena hanya menunggu dari DPR. Jika sudah ada surat dari DPR, maka Presiden akan terbitkan Surpres.
Pada kesempatan berbeda, Fraksi PPP DPR sedang mendorong agar TAP MPRS itu dimasukkan dalam rumusan RUU HIP. Semuanya masih akan dibahas lebih lanjut setelah Presiden Jokowi mengirimkan surpres ke DPR.
Penundaan pembahasan RUU HIP tentu saja bisa dilakukan, karena pembahasan terkait ideologi tentu saja harus mengedepankan prinsip demokrasi.
Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan, bahwa pihaknya menyetujui apabila ada penambahan ketentuan menimbang (konsideran) dalam RUU HIP yang menegaskan larangan ideologi marxisme-komunisme, kapitalisme-liberalisme, radikalisme serta bentuk khilafahisme.
Hasto menuturkan bahwa pihaknya mendengar seluruh aspirasi masyarakat terkait dengan pro-kontra RUU Haluan Ideologi Pancasila. Menurutnya, berbagai pendapat publik menunjukkan kuatnya kesadaran terhadap pancasila. Dirinya juga meyakini bahwa pemerintahan Presiden Jokowi melalui Mahfud MD akam tetap memahami situasi yang berkembang dengan tetap mengedepankan dialog dan menampung aspirasi.
Pada kesempatan Berbeda, Ketua MPR Bambang Soesatyo mengatakan bahwa persoalan TAP MPRS sebagai konsideran ini sudah beres dan hal tersebut masih memungkinkan untuk dimasukkan saat pembahasan antara DPR dengan pemerintah.
Menanggapi hal ini tentu saja masyarakat memerlukan daya kritis untuk tidak mudah terprovokasi. Karena bagaimanapun juga PKI tidak memiliki sedikitpun tempat di Indonesia.
)* Penulis adalah pengamat sosial politik, tinggal di Jakarta