Yang Kompeten dan Visioner, Bukan Yang Pesimis Penebar Ketakutan
Penulis : Sapri Rinaldi (Pengamat Sosial dan Politik)
Jakarta, LSISI.ID – Don’t judge the book by its cover. Pepatah kuno yang tetap berlaku tak termakan zaman. Hal ini pula yang harus diterapkan dalam memilih suatu hal dari beberapa opsi, termasuk memilih presiden yang akan ditentukan pada 17 April 2019.
Sejak dimulainya masa kampanye pada 23 September 2018 hingga 13 April 2019, kedua pihak Paslon saling berunjuk visi dan misi, program, serta solusi. Tak hanya itu, terdapat pula jalan gelap yang ditempuh dengan menjatuhkan lawannya melalui cara-cara menyebar kebencian, hoax, dan pandangan yang nyeleneh. Hal inilah yang ramai digunakan oleh salah satu pihak dengan Paslon nomor urut 02.
Paslon nomor urut 02 dalam berkampanye lebih dominan menggunakan politik untuk menjatuhkan lawannya, dibandingkan untuk menggaungkan tujuan politiknya. Tak hanya itu, terdapat pula isu-isu daerah, nasional, regional, bahkan internasional yang digunakan untuk menjatuhkan posisi Paslon petahana. Isu-isu tersebut mayoritas merupakan hoax setelah dilakukan pendalaman.
Tentu kita belum lupa bagaimana garangnya Capres sebelah mengatakan bahwa pemerintah main hakim sendiri ketika kasus penganiayaan RS. Seantera Indonesia dibuat heboh bak berita bencana skala nasional.
Polri pun turun tangan untuk melakukan penyelidikan terhadap adanya dugaan sesuai tudingan Capres sebelah. Ternyata, kasus tersebut dimanipulasi oleh RS bahwa RS tidak dianiaya namun efek pasca sedok lemak.
Tudingan tersebut berbalik ke Capres sebelah, dengan kondisinya terpojokkan, RS mengklarifikasi bahwa hoax tersebut tanpa sepengetahuan PS. Ini lah sedikit contoh, kampanye untuk menjatuhkan lawan bukan untuk menunjukkan kelebihan yang membuat masyarakat untuk memilihnya.
Sedikit analogi ilustrasi kampanye yang menjadikan kedua belah pihak berbeda. Ilustrasi pertama, petahana melakukan kampanye seperti berjualan, “ayo mas, ayo mbak, beli tempenya masih segar, kondisi bagus, harga pas dikantong”. Sebaliknya, kubu sebelah “jangan beli tempat sebelah, disana tempenya sudah lama dan busuk”.
Tentu hal ini menjadi suatu anomali, normalnya kampanye digunakan untuk memperkenalkan, menunjukkan, dan “menjual” program, serta visi dan misi supaya masyarakat menilai dan memilih Paslon yang berkompeten untuk menjabat jabatan tertentu khususnya presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2019.
Namun, yang terjadi pada kubu oposisi terbalik, mereka lebih senang menjatuhkan promosi lawan dibandingkan mempromosikan “apa yang dipunyai”. Hal ini mungkin salah satu strategi atau mengindikasikan bahkan suatu kenyataan kubu oposisi tak memiliki program untuk berkompetisi dalam Pemilu 2019.
Jika benar itu terjadi, tentu ini bukan suatu hal yang baik. Salah memilih pemimpin, Indonesia pasti menderita selama lima tahun. Tak hanya itu, gencarnya pembangunan infrastruktur pemerintahan ini dapat menjadi terhambat bahkan mandek.
Tentu meninjau hal tersebut, masyarakat perlu membuka diri dan pengetahuan bahwa memilih pemimpin perlu berpanduan pada program kerja yang diusung serta hasil pekerjaannya yang terekam dalam track record. Hal itu pula yang harus dilakukan pada Pemilu 2019 untuk menentukan pemimpin Indonesia lima tahun kedepan dengan meninjau karakter, jati diri, rekam jejak dan kompetensi mereka.