FPI Angkat Kaki Dari Lahan PTPN di Megamendung
Oleh : Firza Ahmad )*
Front Pembela Islam (FPI) diduga kuat telah menyerobot tanah milik negara di Megamendung Jawa Barat. Masyarakat pun berharap agar FPI mau angkat kaki dari lahan negara yang sudah diambil alih tanpa izin tersebut.
TB Hasanuddin selaku Anggota komisi I DPR mengapresiasi langkah PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII yang melayangkan surat somasi terhadap Pondok Pesantren Markaz Syariah Agrokultural milik Front Pembela Islam (FPI) di Megamendung, Bogor, Jawa Barat, untuk segera mengosongkan lahan. Namun berdasarkan penelusurannya ternyata FPI bukan satu-satunya yang mengokupasi atau menguasai lahan PTPN VIII itu.
Selain FPI, ia mengungkap ada sejumlah yayasan, vila dan perusahaan Korea yang menguasai lahan milik negara tersebut. Dia juga meminta agar pihak-pihak yang menguasai lahan milik PTPN VIII harus meninggalkan lahan tersebut sesuai dengan aturan yang berlaku.
Sementara itu, Sekretaris Perusahaan PTPN VIII Naning DT mengatakan, pihaknya tidak hanya mengirimkan somasi terhadap pesantren yang dimiliki FPI. Tapi Juga kepada seluruh pihak yang menggunakan lahan aset milik PTPN VIII tersebut.
Pada kesempatan berbeda, dewan Pakar Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) Teddy Gusnaidi angkat suara mengenai sengketa lahan Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah FPI di Megamendung, Jawa Barat, yang diduga berdiri di atas tanah milik PTPN.
Ia menuturkan, polemik itu dapat dengan mudah diatasi apabila FPI segera angkat kaki dari lahan tersebut. Sebab, lahan yang menjadi sengketa tersebut rupanya merupakan lahan milik PTPN.
Ia juga mengingatkan kepada pemerintah untuk jangan memberikan ruang untuk bernegosiasi dengan pihak yang menduduki lahan yang bukan hak miliknya.
Sengketa tanah ini menurut Tedy juga bukan persoalan besar. Karena, antara pemilik maupun bukan pemilik sudah diketahui secara jelas.
Markaz Syariah FPI ini menjadi sorotan setelah beredar surat dari PTPN VIII yang meminta pondok pesantren tersebut dikosongkan.
Surat berkop PTPN VIII bernomor SB/11/XII/2020 tertanggal 18 Desember 2020 itu diunggah pada akun Twitter @Fkadrun.
Dalam surat itu dijelaskan, bahwa pesantren alam agrokultural markaz syariah FPI berdiri di atas lahan yang dikelola PTPN.
Rupanya pesantren yang menjadi salah satu markas FPI tersbeut tidak mengantongi izin dan persetujuan PTPN VIII ketika didirikan pada tahung 2013 lalu.
Permasalahan antara PTPN dengan FPI rupanya bukan pertama kali terjadi. Tercatat pada awal berdirinya Markaz Syariah FPI pada 2015, pembangunannya telah diwarnai sejumlah masalah.
Lahan yang diduduki oleh Markaz Syariah tersebut, sebelumnya merupakan lahan PTPN yang digunakan oleh penduduk sekitar. Hingga 1998, seluruh area Gunung Mas masih dikuasai PTPN. Setelah reformasi, sejumlah area ditempati masyarakat secara ilegal. Dari 1.623 hektare lahan milik PTPN di sana, yang diserobot mencapai 352 hektare. Namun sertipikatnya masih atas nama PTPN.
Para penggarap ilegal tersebut kemudian menjual lagi lahan melalui calo tanah kepada orang Bogor dan Jakarta yang ingin membangun vila di sana. Markaz Syariah juga pernah mengurus sertipikat lahan di Megamendung ke Badan Pertanahan Nasional. Namun upaya tersebut gagal dikarenakan lahan masih tercatat atas nama PTPN.
Pada 21 Mei 2013, Markaz Syariah FPI menyurati PTPN untuk meminta hak guna lahan seluas 33 hektar dengan dalih corporate social responsibility (CSR). Namun permohonan atas nama CSR tersebut tidak digubris oleh PTPN.
Markaz Syariah juga kembali menyurati PTPN pada bulan April 2014. Mereka mengajukan proposal baru. Persil yang diminta kala itu bukan lagi 33 hektar, melainkan 40 hektare. Namun PTPN tidak merespon permintaan tersebut.
Pada April 2016, Markaz Syariah FPI kembali mencoba usahanya. Kali ini mereka memberi tahu PTPN bahwa mereka telah mengambil alih lahan garapan masyarakat seluas 50 hektare di Afdeling Cikopo Selatan. Dalam suratnya, Markaz Syariah FPI mengabari bahwa mereka telah membangun pembangkit listrik 157 ribu watt untuk menerangi pesantren, mendirikan sejumlah bangunan di kompleks pesantren dan mengaspal jalan sepanjang 7 kilometer dengan lebar 6 meter. Semua surat tersebut ditandatangani oleh Rizieq Shihab selaku pengasuh pesantren.
4 tahun berselang, PTPN akhirnya memberikan surat somasi atas keberadaan Markaz Syariah tersebut. Surat tersebut ditandatangani oleh Direktur PTPN VIII Mohammad Yudayat yang menandatangani surat tersebut.
Tentu saja tidak ada opsi lain bagi pengguna lahan di megamendung selain angkat kaki dari lahan negara.
)* Penulis adalah warganet tinggal di Bogor