Jaga Masjid Dari Kepentingan Politik
Oleh : Dodik Prasetyo )*
Sebentar lagi, beberapa daerah di Indonesia akan melaksanakan pemilihan Kepala Daerah serentak gelombang ketiga. Hajatan demokrasi tersebut di gelar di 17 provinsi serta 154 kabupaten dan kota. Sebelumnya, pada 2017 sudah berlangsung pemilihan di 101 daerah dan pada 2015 berlangsung di 269 daerah. Sejumlah persiapan telah mulai dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu maupun aparat keamanan untuk mewujudkan pelaksanaan Pilkada damai. Sejumlah partai politik pun sudah berstrategi guna memenangkan calon yang diusungnya dalam kontestasi Pilkada di masing-masing daerah.
Pada dasarnya, setiap partai Politik maupun Paslon yang maju dalam Pilkada 2018 memiliki kebebasan dalam berkampanye. Namun di sisi lain, kampanye tersebut haruslah berpatokan pada kaidah-kaidah yang telah ditetapkan sebelumnya. Bawaslu pun telah mengeluarkan sejumlah aturan main agar kampanye Pilkada sesuai dalam koridornya. Mengacu kepada Undang-Undang No 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada dan Peraturan KPU No 4 Tahun 2017 Tentang Kampanye Pilkada, terdapat 24 larangan yang tidak diperbolehkan selama kampanye Pilkada 2018. Diantara larangan tersebut adalah penghinaan terhadap seseorang berdasarkan, agama, suku, ras, dan golongan. Setiap Paslon juga dilarang untuk menghasut, memfitnah, dan mengadu domba partai politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat.
Dengan adanya peraturan tersebut, sudah saatnya kita menghendaki para Paslon maupun elit politik untuk mengedepankan politik gagasan dan adu program pembangunan jika terpilih kelak. Adu argumen dalam hal tersebut diharapkan dapat menggeser potensi kampanye hitam yang isinya menjelek-jelekkan Paslon lain. Dengan mengedepankan politik gagasan dan adu program dalam berkampanye, para elit politik diharapkan dapat mengedepankan substansi dari sebuah demokrasi yang berarti bahwa setiap orang memiliki hak yang sama untuk menjadi pemimpin.
Selain tentang pelarangan dalam hal kampanye diatas, hal lain yang patut dicermati adalah penggunaan masjid dan tempat ibadah lain sebagai tempat kampanye. Kendati Indonesia didominasi mayoritas Muslim dan sang Paslon juga beragama Islam, penggunaan masjid dinilai kurang pantas untuk digunakan sebagai tempat berpolitik. Sebab, masjid merupakan tempat untuk tempat beribadah. Memang Masjid merupakan tempat strategis untuk mengumpulkan massa, namun menggunakan masjid sebagai arena politik dinilai sudah diluar konteks penggunaannya.
Penggunaan tersebut juga diperkuat oleh kenyataan bahwa pada saat Nabi Muhammad SAW mulai menjalankan dakwahnya, beliau tidak memiliki tempat selain Masjid Nabawi yang dipakai untuk melaksanakan semua kegiatannya. Selain itu, Nabi Muhammad SAW juga bukan merupakan partai politik tetapi pemimpin umat sekaligus pemimpin agama. Jika hal tersebut diasosiasikan sebagai “partai”, maka saat itu hanya terdapat satu partai di kalangan umat Muslimin. Situasi tersebut berbeda dengan kondisi sekarang dimana terdapat banyak partai-partai bernuansa Islam atau dipimpin oleh seorang Muslim. Selain itu, banyak pula ruang untuk melakukan aktivitas politik seperti melalui media massa.
Dapat dibayangkan bila hari ini sebuah elit atau partai politik melaksanakan kampanye di sebuah masjid. Maka sudah dapat dipastikan, elit politik lain akan melakukan hal serupa di kemudian hari, dengan membawa simpatisannya yang muslim secara beramai-ramai ke dalam masjid. Selain menggangu esensi dari ibadah itu sendiri, kegiatan berpolitik di masjid justru dapat memecah umat Islam sendiri dan menciptakan suasana tidak kondusif di masyarakat mengingat adanya perbedaan aspirasi di kalangan umat Islam. Tidak menutup kemungkinan pula, para simpatisan akan saling bergesekan di tempat yang disakralkan tersebut. Bahkan, jika terus dibiarkan, kondisi tersebut akan memicu munculnya masjid-masjid yang berdasarkan partai peserta pemilu. Lebih parahnya lagi, isu tersebut akan menggiring pada kekhawatiran munculnya isu sensitif lain yakni larangan pemilihan non muslim sebagai pemimpin politik sehingga dapat menimbulkan perang tafsir ayat Al-Qur’an dan hadits yang tidak berujung.
Ketidaksetujuan penggunaan masjid sebagai tempat berpolitik telah diutarakan oleh Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Mahdi. Dalam pidatonya di Islamic Center NTB pada 16 Februari 2018, TGB mengingatkan para peserta Pilkada yang berkompetisi untuk tidak menggunakan tempat ibadah sebagai sarana kampanye. TGB juga menghimbau para calon legilatif untuk memanfaatkan ruang-ruang kampanye yang telah disediakan seperti melalui media sosial dan bertemu langsung dengan masyarakat. Menurutnya, Paslon yang tetap nekat menggunakan masjid sebagai tempat kampanye akan menemui sejumlah resikonya, seperti tercatat sebagai pelanggaran oleh Bawaslu. Terakhir, TGB menghimbau kepada seluruh masyarakat untuk menjaga masjid agar terbebas dari nuansa Pilkada maupun aktivitas politik lainnya.
Jauh sebelumnya, yakni diawal masa kampanye DPR dan Presiden 2014, Mantan Ketua Muhammadiyah, Syafii Maarif pernah menulis di sebuah koran Ibukota yang intinya mengingatkan tentang ancaman politisasi masjid. Dalam koran tersebut, Buya Syafii Menulis “Tuan dan puan bisa bayangkan, jika dalam khutbah Jum’at diselipkan kampanye politik partai tertentu, pastilah masjid berhenti menjadi tempat yang nyaman, diliputi oleh suasana persaudaraan. Perpecahan di akar rumput akan menjadi sulit dihindari, seperti yang dulu pernah berlaku. Jalan yang paling arif menurut saran saya adalah membebaskan semua masjid dari gesekan politik kepentingan sesaat. Jadikan Rumah Allah ini sebagai tempat teduh dan sejuk buat semua orang beriman, terlepas dari apa pun partai yang didukungnya“.
Sependek pemahaman penulis, setiap orang berhak untuk menyuarakan pemikiran politiknya. Politik disini adalah pandangan luas terhadap sebuah permasalahan yang menyangkut urusan negara, termasuk dalam hal mengawal penyelenggaraan negara. Namun yang patut dihindari adalah munculnya pembicaraan politik partisan di Masjid sehingga secara tidak langsung akan melibatkan masjid itu sendiri dalam kelompok tertentu dan dalam perebutan kekuasaan. Pada situasi semacam itulah potensi perpecahan antar umat muslim akan semakin menganga yang dapat menyebabkan konflik horizontal karena heterogenitasnya aspirasi umat.
Sejumlah pihak pun rasanya sudah menyadari bahaya penggunaan masjid sebagai tempat untuk berpolitik yang diekspresikan melalui sejumlah deklarasi. Beberapa deklarasi tersebut telah dilaksanakan di beberapa daerah, diantaranya dilaksanakan oleh Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) seluruh Kota Madya Bogor, perwakilan ormas Islam dan Takmir Masjid di Blitar-Jatim, dan DKM se-Kotamadya Bandung yang intinya menolak segala bentuk politisasi masjid. Mereka menyerukan agar masjid dapat dikembalikan sesuai dengan fungsinya, sebagai tempat ibadah dan menolak segala bentuk ceramah provokatif untuk kepentingan politik partisan. Kendati aksi penolakan politisasi masjid telah dilaksanakan secara massif, peran masyarakat tetap diperlukan untuk dapat mengembalikan fungsi masjid sebagaimana mestinya.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu untuk tetap mempertahankan masjid sebagai tempat ibadah yang sakral dari syahwat politik untuk berkuasa. Kita sebagai masyarakat juga diharapkan untuk cerdas dan bijak menggunakan masjid sebagai sarana untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT dan menciptakan persatuan diantara ummat, bukan justru memecah belah ummat.
)* Penulis adalah Kontributor Lembaga Studi Informasi Strategi Indonesia (LSISI)