Mencontoh Semangat Toleransi Imam Al Azhar dan Paus Fransiskus
Oleh : Amrillah Ilham*
Pada tahun 1996, pemimpin Nadhlatul Ulama Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah membuat heboh Indonesia ketika mengeluarkan serangkaian tulisan, yang kemudian dikompilasi menjadi buku “Tuhan Tidak Perlu Dibela”. Tentu otokritik tersebut mendapat kecaman keras dari berbagai kalangan yang sebelumnya juga telah mengkritisi pernyataan – pernyataan tokoh kelahiran Jombang Jawa Timur ini, antara lain soal Islam yang ramah, bukan yang marah atau Islam yang kritis terhadap aksioma lama, serta Islam yang terbuka pada hal baru dan sebagainya.
Dalam salah satu tulisannya terkait “Tuhan Tidak Perlu Dibela”, Gus Dur menyatakan bahwa dalam sejarah, agama memang sama sekali tidak dapat steril dari berbagai hasrat dan kepentingan manusiawi, sehingga pada titik tertentu kerap ditunggangi dan diseret ke wilayah yang cukup politis, menjadikannya semacam legitimasi sikap politis dari kepentingan suatu kelompok.
“Nama Tuhan dibawa kesana – kemari mirip sebuah barang dagangan. Kalau sudah demikian, apakah yang terjadi sebenarnya buka merupakan reduksi terhadap nilai luhur dari misi agama itu sendiri?” tanya Gus Dur saat itu.
Namun tak pernah disangka jika 22 tahun kemudian, pernyataan itu menjadi salah satu bagian penting deklarasi persaudaraan yang ditandatangani oleh pemimpin umat Katholik sedunia, Paus Fransiskus dan Imam Besar Al Azhar Syeikh Ahmed Al Tayeb. Ketika menghadiri upacara penandatanganan di Abu Dhabi awal pekan ini, kedua tokoh berjalan bergandeng tangan, simbol persaudaraan antar – keyakinan. Dokumen yang diklaim mengatasnamakan seluruh korban perang, persekusi dan ketidakadilan di dunia itu, menyatakan komitmen Al Azhar untuk bekerjasama memerangi ekstrimisme.
Kedua belah pihak dengan tegas menyatakan bahwa agama tidak boleh digunakan untuk menghasut terjadinya perang, kebencian, permusuhan dan ekstrimisme, juga untuk memicu aksi kekerasan atau pertumpahan darah. Bagian penting dokumen itu mendorong semua pihak untuk menahan diri mengatasnamakan Tuhan untuk membenarkan tindakan pembunuhan, pengasingan, terorisme dan penindasan. “Kami meminta ini berdasar kepercayaan kami bersama pada Tuhan, yang tidak menciptakan manusia untuk dibunuh atau berperang satu sama lain, tidak untuk disiksa atau dihina dalam kehidupan dan keadaan mereka. Tuhan, Yang Maha Besar, tidak perlu dibela oleh siapapun dan tidak ingin nama-Nya digunakan untuk meneror orang.”
Penandatanganan tersebut mendapatkan apresiasi dari sejumlah tokoh agama. Intelektual Muslim Prof. Dr. Komaruddin Hidayat mengatakan deklarasi itu mengingatkan kembali pada misi awal agama, dimana agama apapun, pada awalnya adalah untuk membela manusia yang tertindas. Karena yang beragama bukan Tuhan, yang beragama adalah manusia.
Agama itu bukan untuk kepentingan Tuhan, bukan untuk membela Tuhan. Tuhan justru mengirimkan Nabi – Nabinya untuk membela manusia dan kemanusiaan. Jadi ketika agama kemudian digunakan untuk menciptakan penindasan dan peperangan, maka sesungguhnya telah menyalahi misi inti agama secara primordial, karena semua agama awalnya adalah untuk memihak orang – orang tertindas.
Pertemuan tokoh lintas agama tersebut menunjukkan betapa kedua tokoh memiliki kepedulian / keprihatinan yang sama tentang penyalahgunaan agama dalam konflik dan peperangan. Sementara soal kalimat dalam bahasa Inggris yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti “Tuhan tidak perlu dibela”.
Kalau pun dibilang membela Tuhan itu sebenarnya membela hamba – hamba Tuhan, karena dalam kitab suci juga terdapat kalimat ‘kibarkanlah Agama Tuhan.’ Sehingga sebenarnya membela agama Tuhan wujudnya adalah membela kemanusiaan. Memang Tuhan tidak perlu dibela namun dalam pengertian yang harus dibela adalah misi kebenaran Agama Tuhan, manifestasinya adalah membela kemanusiaan.
Romo Aloysius Budi Purnomo di Keuskupan Agung Semarang mengatakan bahwa kalimat – kalimat yang ada dalam deklarasi yang ditandatangani Paus Fransiskus dan Imam Besar Al Azhar Syeikh Ahmed Al Tayeb, langsung mengingatkan dirinya akan sosok ulama pluralisme Indonesia yaitu Abdurrahman Wahid.
Gus Durlah yang pada masa hidupnya selalu mengucapkan kalimat “Tuhan tidak perlu dibela.” Bagi orang – orang yang tidak menyukai Gus Dur, pernyataan beliau ini tentu akan menjadi point untuk disalahartikan. Namun sesungguhnya kalimat lengkapnya adalah “Tuhan tidak perlu dibela, yang perlu dibela adalah makhluk Tuhan yang diperlakukan semena – mena oleh makhluk lainnya. Kalimat yang didengunggkan oleh Gus Dur tersebut seakan bergema kembali melalui deklarasi untuk menumpas radikalisme dan ekstrimisme yang berlangsung di Abu Dhabi.
Pihaknya juga menambahkan bahwa dokumen yang ada di Abu Dhabi tersebut sangat menggarisbawahi dan memadukan Iman kepada Allah dan sikap membela kemanusiaan terutama kaum miskin dan papa. Hal yang perlu ditegaskan adalah “Tuhan tidak perlu dibela, sebab sikap sok membela Tuhan justru kerap berbuah pada aksi kekerasan dan teror pada sesama.”
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan SDM PBNU, Dr. Rumadi Ahmad mengatakan bahwa yang terpenting saat ini adalah menggaungkan apa yang sudah tercapai di Abu Dhabi tersebut. Meskipun di Indonesia sudah lama dibicarakan, deklarasi yang melibatkan tokoh besar tersebut tetap penting untuk semakin memberi semangat pada umat Islam dan Umat lain yang selama ini sudah lama menyuarakannya.
Adanya kemauan Paus Fransiskus dan Imam Al Azhar untuk mengetahui pandangan masing – masing, ini jauh lebih baik dan bermanfaat dibanding bicara setengah kamar dan kemudian yang muncul adalah prasangka, tanpa mengetahui secara persis apa masalah terbesarnya. Dalam pidatonya usah lawatan kepausan, Paus menggaris bawahi bahwa Paus dan Syeikh Tayeb disini untuk perdamaian, untuk mempromosikan perdamaian dan menjadi instrumen perdamaian. Dimana kekerasan, intoleransi, fanatisme atas nama agama tidak pernah dapat dibenarkan.
*Penulis adalah Pengamat Masalah Sosial Budaya