Mengulas Diksi “Indonesia Punah” ala Prabowo
Kita tidak boleh kalah. Kalau kita kalah negara ini bisa punah”, kata Prabowo di depan para pendukungnya.
Oleh : Ridho Pratama *)
Menjelang akhir tahun 2018, Prabowo tampak disibukkan dengan berbagai agenda untuk bertemu dengan para kadernya. Beberapa kalimat yang ia lontarkan kerap membuat geger hingga menjadikan hal tersebut semacam blunder bagi popularitas calon presiden nomor 2 tersebut.
Tentunya masyarakat Boyolali masih ingat ketika Prabowo mengatakan “Tampang Boyolali” dalam pidatonya, masyarakat Boyolali merasa bahwa kalimat tersebut melecehkan dan seolah – olah menyatakan bahwa orang Boyolali miskin dan tidak pernah masuk mall dan hotel mewah.
Beralih dari “Tampang Boyolali”, Prabowo juga menggunakan diksi yang dirasa tidak menyejukkan. Dalam konferensi Nasional Partai Gerindra yang digelar di Sentul International Convention Center (SICC) Bogor, 17 Desember 2018, Prabowo dalam orasinya kembali mengeluarkan pernyataan yang membuat heboh banyak orang. Pernyataan tersebut adalah bahwa “Indonesia bisa punah jika kita kalah”.
“Kalau kita kalah, negara ini bisa punah. Elite Indonesia selalu mengecewakan, selalu gagal menjalankan amanah rakyat. Kita tidak bisa kalah. Kita tidak boleh kalah. Kalau kita kalah negara ini bisa punah”, kata Prabowo di depan para pendukungnya.
Pernyataan tersebut sontak menggelitik telinga banyak pihak, karena tidak hanya sekali Prabowo mengeluarkan pernyataan tentang kehancuran Indonesia. Sebelumnya ia juga pernah menyatakan prediksi bubarnya Indonesia di tahun 2030 yang ternyata diketahui bersumber dari sebuah novel berjudul Ghost Fleet.
Ungkapan Indonesia akan punah jika Prabowo – Sandi tidak terpilih merupakan salah satu kalimat yang tak sepantasnya disampaikan. Karena menjaga keutuhan Indonesia tidak hanya menjadi peran Presiden, namun seluruh masyarakat Indonesia. Hal ini tentu memunculkan sebuah pertanyaan, apa yang dimaksud negara yang punah?
Jika yang dimaksud Indonesia punah adalah terkait dengan perekonomian Indonesia, maka kita bisa berkaca pada krisis ekonomi global yang pernah terjadi sebelumnya, justru perekonomian Indonesia masih kuat. Selain itu di tahun 2018, Menteri Keuangan Sri Mulyani dinobatkan sebagai menteri keuangan terbaik dunia versi Majalah Global Market. Lantas dengan prestasi seperti ini apakah ancaman Indonesia Punah masih relevan untuk digunakan dalam upaya kepentingan politiknya?
Indonesia adalah bangsa yang besar sehingga siapapun kelak yang menjadi pemimpin tentu harus mengembangkan potensi bangsa dan tidak merangsang sikap pesimis masyarakat Indonesia.
Dalam pertarungan Pilpres nanti, semestinya kampanye dengan nada “ancaman” tidaklah etis. Saat ini Indonesia telah masuk dalam era kolaborasi, dimana kerjasama lintas sektor bisa diupayakan untuk menggerakkan perputaran ekonomi kerakyatan. Hal semacam inilah yang semestinya digaungkan daripada menebar ancaman Indonesia Punah.
Indonesia telah memasuki umur 73 tahun, sejak kemerdekaan diproklamasikan hingga saat ini negara kita sudah banyak diuji oleh berbagai tantangan dan kejadian, termasuk beberapa kali pemberontakan. Namun Indonesia tak juga punah dan tetap berdiri, tentu dengan landasan tersebut ucapan Prabowo terkait Indonesia akan punah jika Prabowo – Sandi tidak terpilih merupakan sesuatu yang hiperbola.
Masyarakat bisa menilai seseorang dari gaya bicara dan pemilihan kata ketika seseorang berada di atas mimbar. Sudah selayaknya para calon pemimpin di negeri ini berkampanye dengan saling memaparkan strategi maupun visi misi untuk memimpin bangsa. Tidak memancing amarah dengan kalimat yang bernada mengancam dan menakut-nakuti.
Indonesia telah berkali – kali mengadakan hajat Pemilu, dan hingga saat ini belum ada sejarahnya jika ada seorang tokoh yang kalah dalam pesta demokrasi lantas sebuah negara atau daerah akan punah atau bubar. Hal ini karena penyebab punahnya negara mesti didahului gejala atau indikasi serius yang mengancam eksistensi negara. Hingga saat ini Indonesia pun masih bisa menunjukkan eksistensinya dengan menyelenggarakan event-event internasional, seperti Asian Games dan Asian Paragames 2018 dengan sukses. Logikanya, negara yang punah atau hampir punah tentu tidak akan mampu menyelenggarakan perhelatan acara internasional tersebut.
Rakyat Indonesia tentu mengharapkan adanya perbaikan di berbagai sektor seperti ekonomi, infrastruktur pembangunan, pendidikan, kesehatan dan lain – lain. Hal ini tentu membutuhkan sikap optimisme, bukan rasa takut dan belenggu pesimisme. Dalam berkampanye, Prabowo cenderung menggunakan diksi sensasional, dan dalam mengkritik pemerintah sangatlah minim solusi. Sebelum ramai dengan frasa Indonesia Punah, calon presiden pasangan Prabowo – Sandi telah menelorkan beberapa frasa seperti politik kebohonganm politik genderuwo, tampang Boyolali, tempe setipis ATM, impor ugal – ugalan, dan yang paling baru Indonesia Punah.
Melihat diksi tersebut ternyata hanya membuat bising dan memperkeruh opini publik. Situasi seperti ini tentu mengganggu kualitas demokrasi substansial. Diksi dalam kampanye yang minim akan gagasan dan strategi juga akan mengurangi respek masyarakat terhadap persoalan yang lebih substantif. Strategi kampanye politik yang dilakukan Prabowo membuat masyarakat tergiring dengan isu murahan dan persoalan remeh. Proses adu gagasan dirasa kurang menarik daripada bermain diksi dan lantang mengkritik tanpa solusi.
*) Penulis adalah Mahasiswa UNJ