Mewaspadai Ancaman Terorisme dan Radikalisme
Oleh : Nofri Fahrozi )*
Ancaman teror kadang muncul dengan adanya beberapa peristiwa besar di Indonesia. Kelompok teroris dalam banyak aksinya sering memanfaatkan kelengahan aparat, peristiwa besar akan membuat aparat kepolisian menjadi terfokus ke hal tersebut, dan teroris akhirnya dapat memanfaatkan momentum kelengahan aparat.
Salah satu momentumnya penusukan terhadap Menko Polhukam, Wiranto. Dimana kelompok teroris memanfaatkan lemahnya deteksi dini dan lengahnya aparat keamanan. Oleh karena itu pemerintah harus terus berupaya dalam mengungkap jaringan pelaku penusukan tersebut.
Sebelumnya Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol Ir Hamli, M.R mengatakan bahwa, ancaman penyebaran terorisme sudah mulai masuk ke lembaga pendidikan. Ancaman tersebut mulai dari jenjang sekolah menengah atas (SMA) hingga pendidikan anak usia dini (PAUD).
Ia menjelaskan, pada tingkat perguruan tinggi, penyebaran paham terorisme dan radikalisme tersebut sudah berjalan. Terbukti dengan banyaknya para pelaku yang berlatar belakang lulusan atau mahasiswa dari perguruan tinggi.
Namun kini, isunya ancaman penyebaran paham tersebut telah menyisir pada tingkat SMA dan bahkan PAUD, jika hal ini benar terjadi maka kelompok teroris tersebut telah menyiapkan kaderisasi secara rapi.
Tentu kita patut curiga apabila terdapat sekolah yang tidak mau memasang bendera merah putih atau tidak mau menyanyikan lagu Indonesia Raya. Aparat TNI maupun Polri tentu harus harus turut mengawasi jika menemukan hal tersebut
Hamli juga menuturkan, dimana salah satu universitas di Jawa Timur, saat dirinya melakukan wawancara kepada sebanyak 6.000 mahasiswa baru. Hasilnya menunjukkan 27 persen mahasiswa tersebut tidak mau lagi menggunakan Pancasila sebagai dasar.
Lantas itu menyebutkan, terorisme merupakan gerakan yang paling ekstrim. Paham terorisme itu tidak serta merta langsung timbul begitu saja, tetapi bermula dari sikap intoleransi, radikalisme, sehingga tumbuh dalam aksi terorisme.
Kewaspadaan terhadap ancaman terorisme tidak boleh pudar. Seiring diresmikannya Jokowi pada periode keduanya, ancaman terorisme masih membayangi Indonesia, terbukti dengan tertangkapnya puluhan tersangka, sebagian diantaranya dicurigai telah merencanakan aksi teror.
Yenny Wahid selaku direktur Wahid Institute mengatakan, usia muda termasuk masa rentan menjadi toleran dan radikal. Karena mereka masuk dalam fase mencari jat diri atau identitas. Apalagi, generasi tersebut melihat adanya ketidakadilan di sekitar mereka.
Imbasnya anak muda tersebut dengan mudah bisa menerima gagasan – gagasan dan pemikiran radikal yang mereka peroleh dengan mudah, melalui tulisan di dunia maya maupun lisan yang disampaikan oleh tokoh agama yang diakuinya.
Anak muda juga perlu memahami makna tentang jihad agar tidak salah tafsir. Karena Jihad sendiri artinya kesungguhan, bukan berarti berperang atau menebar ketakutan.
Kita tak dapat menampik bahwa sistem demokrasi di Indonesia hampir memberikan wadah yang seluas – luasnya bagi setiap warga negara untuk melakukan apapun. Demokrasi yang dimaknai dan dipraktikan di negeri ini sungguh jauh lebih “liar” jika dibandingkan dengan demokrasi yang diterapkan di negara tetangga, Malaysia misalnya, hal ini dikarenakan negara tersebut memiliki undang – undang Internal Security Act (ISA), dengan undang – undang tersebut malaysia dapat menindak siapapun yang dicurigai dapat membahayakan kehidupan publik.
Kita tentu sudah tahu betapa dahsyat dan gilanya kelompok radikal semacam Abu Sayyaf dan Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS), mereka dengan tega mengancam, meneror dan membunuh sesama manusia tak ubahnya seorang pemburu yang menembak binatang.
Ideologi Pancasila menolak semua paham radikalisme dan terorisme. Kedua paham ideologi ini terbukti membahayakan negara Indonesia dan banyak negara lainnya. Hal ini dikarenakan radikalisme merupakan paham yang mengesahkan ketegaan. Secara ilmiah biasanya dikaitkan dengan tawaran–tawaran solusi yang mendasar dalam memperbaiki sistem sosial di masyarakat.
Pencegahan dan penanggulangan radikalisme perlu dilakukan secara terarah dan terkoordinir dengan melibatkan banyak pihak utamanya ulama dan umara’.
Keluarga juga berperan dalam memberikan pemahaman agama yang baik terhadap anak – anaknya, ketiadaan waktu orangtua untuk mendidik agama kepada anak – anaknya dapat membuat anak tersebut lantas mencari kajiannya agamanya sendiri, hingga akhirnya bukan tidak mungkin kajian yang berbau provokasi akan membuatnya berubah menjadi seorang radikalis.
)* Penulis adalah pengamat sosial politik