Polemik Politik

SEJARAH KUDETA MILITER PRABOWO TAHUN 1998

Bijakkah calon pemimpin yang masih terbelenggu masalah sejarah kelam bangsa ini mengajukan diri untuk menjadi pemimpin bangsa?

Penulis : Amil Aziz*

Sejarah kelabu negeri ini pernah terjadi  di tahun 1998 silam. Ketika, Soeharto, presiden kala itu terpilih untuk kesekian kalinya. Masyarakat yang selama ini diam, menyimpan bara. Terjadilah amuk massa masif, terutama di wilayah Jawa. Sebuah tuntutan agar Soeharto lengser didengungkan. Hampir setiap hari, kala itu, demonstrasi terus digelar. Tuntutannya satu ialah Soeharto turun dari tampuk kekuasaan. Dan ujungnya, 13-14 Mei 1998. Demontrasi besar-besaran di gelar di Jakarta. Hari itu Jakarta mencekam. Dan kerusuhan pun meletus.

Pada acara Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) 18 Desember 2012 lalu, Prabowo menyampaikan pernyataan yang cukup mengagetkan, “Saya Letnan Jendral mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat yang hampir Kudeta, Menyesal juga saya nggak jadi Kudeta”. Pernyataan ini mungkin disampaikan tanpa ada niat sungguh-sungguh dari Prabowo, tapi pernyataan itu mengingatkan kita akan luka sejarah yang pernah terjadi di negeri ini. Luka sejarah itu terjadi ketika peristiwa peralihan kekuasaan dari rezim Soeharto yang digulingkan setelah tiraninya menguasai negeri ini selama 32 tahun lamanya. Kemudian, pucuk kekuasaan pun beralih kepada wakil presiden BJ. Habibie yang kemudian menggantikan Suharto, menjadi Presiden Republik Indonesia. Namun pada kenyataannya dulu, posisi jabatan itu “menggiurkan” petinggi lainnya dan berusaha “mengambil-alih” kekuasaannya yang hingga saat ini masih penuh tanda tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Dalam sejarah yang tercatat di pikiran masyarakat Indonesia, Prabowo terkena dua tuduhan serius di era peralihan kepemimpinan di tahun 1998. Tuduhan yang pertama, Prabowo disangka menjadi dalang kerusuhan yang terjadi di bulan mei 1998 yang banyak merengut nyawa dan terjadinya penjarahan, Kerusuhan yang sangat terindikasi melibatkan konflik yang terjadi di internal tubuh ABRI. Bahkan Presiden Habibie membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk mencari keterlibatan Prabowo dalam kerusuhan 1998. Hingga sampai saat ini hasil dari temuan TGPF tidak pernah disampaikan ke masyarakat luas secara jelas, apa dan seberapa besar keterlibatan Prabowo pada kerusuhan yang terjadi di tahun 1998 itu.

Tuduhan yang kedua, Prabowo dicurigai akan mengambil alih paksa kekuasaan pasca tergulingnya Presiden Soeharto dari kekuasaan yang digantikan oleh Presiden Habibie. Kecurigaan itu berawal dari laporan Panglima ABRI yang saat itu dijabat oleh Jendral Wiranto melapor ke Presiden Habibie bahwa ada konsentrasi pergerakan pasukan Kostrad dibawah komando Prabowo di sekitar kediaman Habibie, yang kemudian disimpulkan tindakan Prabowo itu upaya untuk melakukan Kudeta. Pergerakan pasukan Prabowo ini sangat dicemaskan oleh Presiden Habibie, karena Prabowo sebagai Panglima Kostrad membawahi pasukan sebanyak 11.000 personel tentara yang oleh Presiden Habibie disikapi dengan memerintahkan Wiranto untuk memberhentikan Prabowo sebagai Pangkostrad dan diganti dengan Pangkostrad yang baru agar bisa menarik mundur pasukan kostrad yang sudah memasuki kota Jakarta pada waktu itu. Prabowo berdalih bahwa itu untuk mengamankan Presiden.  Namun, Habibie tidak lantas percaya dan tetap pada keputusannya mencopot Prabowo dan menempati posisi baru sebagai Komandan Sekolah Staf Komando (Dansesko) ABRI menggantikan Letjen Arie J Kumaat. Presiden Habibie menilai hal tersebut sangat tidak baik saat itu, karena disaat kondisi Republik yang masih genting, perbuatan Prabowo itu dapat mempengaruhi komandan lain untuk berbuat sendiri-sendiri, tanpa koordinasi

Fakta Prabowo tentang Kudeta diatas, harusnya juga menjadi momen penting kita sebagai warga negara yang menuntut kejelasan tentang apa yang sebenarnya terjadi pada era itu. Bijakkah calon pemimpin yang masih terbelenggu masalah sejarah kelam bangsa ini mengajukan diri untuk menjadi pemimpin bangsa? Berapa banyak anak bangsa yang telah meregang nyawa pada tahun 1998 dari Sabang hingga Merauke untuk melepas rantai dari belenggu New Order atau Orde Baru agar jauh-jauh lebih bebas menerima dan mendapat segala informasi seperti sekarang?

Alangkah lebih Bijak jika calon pemimpin itu membersihkan namanya dari luka sejarah yang terjadi dalam proses kelam bangsa ini. Berilah pendidikan positif bagi rakyat dan generasi muda bangsa ini tentang bagaimana melihat seorang pemimpin. Jangan biarkan sifat mudah melupakan sejarah yang dimiliki sebagian besar masyarakat menjadi kebiasaan dalam proses bernegara bangsa ini. Banyak kalangan berpendapat, sebaiknya tokoh-tokoh yang terlibat langsung dengan peristiwa seputar 21 Mei 1998, mengungkapkan apa yang mereka tahu dan rasakan. Dengan demikian masyarakat sendiri yang akan menilai siapa yang benar siapa yang tidak benar.

*) Mahasiswa FISIP Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button

Adblock Detected

Kami juga tidak suka iklan, kami hanya menampilkan iklan yang tidak menggangu. Terimakasih