Tukang Ojek Online Bukan Profesi Hina
Oleh : Aldo Indrawan *)
Untuk kesekian kalinya Calon Presiden (Capres) nomor urut 02, Prabowo Subianto mendapat protes dari masyarakat terkait narasi pidatonya. Pekerja transportasi, khususnya tukang ojek online atau lebih dikenal dengan sebutan ojol merasa sakit hati dengan pernyataan Prabowo.
Unjuk rasa driver ojol menuntut Prabowo untuk meminta maaf terjadi di beberapa kota, seperti Bojonegoro, Malang dan Madiun. Apabila tuntutan itu disanggupi, kemungkinan Prabowo menjadi Capres yang paling banyak minta maaf dalam sejarah perpolitikan Indonesia.
Awal cerita dimulai ketika Prabowo Subianto berpidato dalam acara Indonesia Economic Forum di Hotel Shangri-La, Jakarta Selatan pada 21 November lalu. Dirinya konsisten membawa isu-isu ekonomi sebagai amunisi politik dalam panggung Pilpres 2019. Prabowo menyatakan keprihatinan terkait banyaknya lulusan SMA yang berakhir sebagai driver ojol.
“Ada meme yang menunjukkan bahwa perjalanan karir pemuda Indonesia setelah lulus sekolah dari SD sampai SMA akan menjadi tukang ojek,” katanya. Prabowo menyatakan pernyataan ini sambil menunjukkan sebuah meme. Meme itu menampilkan topi bergambar logo Tut Wuri Handayani berwarna merah, yang menggambarkan tingkat SD. Sedangkan di ujung belakang gambar, terdapat sebuah helm berwarna hijau yang menyimbolkan seorang pengemudi ojek dengang platform online.
Menurut Prabowo, driver ojol bukan merupakan pekerjaan yang baik meskipun sudah dilengkapi dengan gadget canggih dan aplikasi modern. Standar pekerjaan yang baik di mata Prabowo mungkin adalah insinyur, pilot, dokter, dan pengusaha. Secara sederhana, pernyataan Prabowo mewakili pemikiran orang-orang zaman dahulu yang tidak begitu paham dengan persoalan dan perkembangan zaman. Seperti halnya sudut pandang ibu-ibu di desa yang mengidamkan menantu PNS atau minimal juru tulis kantor desa.
Terkait pandangan prihatin Prabowo terhadap profesi driver ojol, sebenarnya sisi sebelah mana yang dimaksud? Apakah pada tingkat upah atau sistem keamanan kerja? Tidak begitu jelas dinyatakan. Jadi terkesan Prabowo prihatin hanya karena melihat pekerjaan driver ojol hina sehingga dia berkeinginan untuk menghapus profesi ini ketika berhasil berkuasa.
Sebenarnya persoalan upah rendah merupakan hal yang klasik. Insinyur, pilot, dan dokter, yang menurut Prabowo adalah profesi hebat, apabila jumlahnya berlimpah maka akan turun juga tingkat upahnya. Mereka bisa menikmati tingkat upah tinggi karena tidak banyak tersedia para pekerja dengan keahlian seperti itu. Maka keinginan Prabowo meningkatkan kesejahteraan pekerja dengan mendorong alih profesi menjadi sekelas insinyur, pilot dan dokter, merupakan omong kosong tanpa ada dasar pemahaman terkait kondisi pasar tenaga kerja.
Permasalahan khas driver ojol saat ini bukanlah soal upah, melainkan sistem keamanan kerja. Jika melihat ke belakang pada era tahun 2000, permasalahan serupa terjadi pada sopir yang bukan sebagai buruh, namun lebih dipandang sebagai mitra perusahaan.
Perusahaan pemilik aplikasi bertindak sebagai pengusaha, sedangkan upah ojol berupa komisi atas layanan yang terjual ditambah bonus sebagai hadiah atas kinerja menjual layanan dengan jumlah tertentu. Dengan status ini, pekerjaan dan karir driver ojol tidak aman karena hubungan kemitraan dengan perusahaan bisa berakhir kapan saja.
Selain Gojek dan Grab di sektor transportasi, beragam agen pemasaran berupa penjualan tiket, pulsa dan industri media dengan platform online kini mempekerjakan tenaga lepas yang dibayar dengan sistem bagi hasil atas pendapatan iklan. Ketika hal itu menjadi jalan bagi kapitalis untuk bertahan, menolak mentah-mentah sistem ini sama saja dengan membuang kesempatan investasi yang menyediakan lapangan kerja.
Misalkan Prabowo memaksa Grab atau Gojek menjadikan driver ojol sebagai buruh, kedua perusahaan ini bisa saja pindah lokasi usaha ke negara lain atau bahkan menutup perusahaannya. Hal itu akan berdampak buruk karena tenaga kerjanya tidak terserap dalam model bisnis tradisional sehingga angka pengangguran meningkat, tindak kriminalitas naik, kemiskinan merajalela, demonstrasi terjadi di mana-mana, dan prediksi Prabowo terkait Indonesia bubar pada 2030 mungkin saja terwujud.
Maka jalan terbaik yang mungkin dilakukan pemerintah adalah menyediakan regulasi agar mampu melindungi kesejahteraan, keamanan kerja, dan hal normatif lainnya seperti tanggungan asuransi. Beberapa hal tersebut yang seharusnya dipikirkan Prabowo dan tim suksesnya apabila benar-benar peduli dengan angkatan kerja yang katanya hanya lulusan SMA. Bukan malah mengumbar janji-janji aneh yang mustahil untuk ditepati jika benar dirinya terpilih sebagai Presiden RI.
*) Penulis merupakan pemerhati sosial politik di Jakarta.