Upaya Bersama Membendung Radikalisme di Masyarakat
Oleh : Rita Hapsari )*
Paham radikal masih menjadi ancaman nyata yang perlu diwaspadai seluruh masyarakat. Selain memicu aksi kekerasan, Paham radikal juga diyakini mampu memicu konflik antar masyarakat dan menyebabkan disharmoni bangsa. Oleh sebab itu, penanganan paham radikal tidak hanya menjadi tugas Pemerintah namun juga seluruh elemen bangsa.
Beragam polemik terkait radikalisme ditengarai dapat mengancam stabilitas nasional. Tak hanya menyasar satu korban, seolah memiliki pola acak yang telah terintegrasi dengan kelompok, pelaku radikalisme ini menggaet korban yang masih gampang untuk dibujuk, bahkan anak-anak sekalipun. Yang penting dapat dijadikan robot sebagai perpanjangan tangan.
Jika diklasifikasikan, radikalisme di Indonesia mempunyai 3 jenis. Yakni, keyakinan, tindakan, serta politik, termasuk mengganti ideologi Pancasila dengan paham khilafah.
Pegiat anti-radikalisme Haidar Alwi menyebutkan bahwa di Indonesia ada tiga macam radikalisme. Pertama, adalah radikalisme secara keyakinan. Menurutnya, radikalisme seperti itu ialah orang yang selalu menilai orang lain menjadi kafir.
Selain itu, radikalisme tersebut acap kali menilai bahwa seseorang akan masuk ke dalam neraka kecuali kelompoknya. Kemudian, radikalisme jenis kedua adalah secara tindakan. Dalam jenis tersebut, Haidar mencontohkan seperti Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Menurut pengamatannya, JAD merupakan kelompok yang selalu menghalalkan segala cara, termasuk melakukan pembunuhan yang mengatasnamakan agama.
Dan yang ketiga ialah radikalisme dalam bentuk politik. Kelompok ini adalah yang ingin mengganti ideologi negara yang sah, Pancasila, menjadi ideologi khilafah. Dari ketiga jenis tersebut, jumlah pengikut ketiganya kian marak di Indonesia. Bahkan, dirinya sesumbar bahwa saat ini Indonesia dalam situasi yang darurat atas paham radikal.
Pada kesempatan yang sama, pakar intelijen bernama Soleman Ponto mengatakan persoalan utama dalam serangkaian aksi teror bukanlah paham radikal, melainkan tidak adanya kontrol yang keras terhadap bahan peledak. Menurutnya, apabila ada yang berpikir radikal itu dapat diselesaikan secara dialog, tidak peduli sampai berapa lama. Menjadi persoalan, lanjut Soleman, adalah ketika seseorang yang berpaham radikal ini telah memiliki bahan peledak. Ia menerangkan, sepanjang dia tidak memiliki akses terhadap bom. Apa pun bom namanya. Mulai dari TNT, untuk petasan, harus terkontrol.
Namun, situasi saat ini, bahan peledak terbilang masih beredar secara umum di publik atau pengendaliannya terbilang cukup longgar. Menurutnya, fokus saat ini ialah ke arah sana karena sedikit sekali orang-orang yang berbicara pentingnya pengawasan terhadap peredaran bahan peledak.
Padahal, menurutnya pengawasan terkait hal tersebut harus dilakukan. Terlebih saat ini telah ada regulasi yang mengatur tentang bahan peledak. Untuk kontrol bahan peledak itu, dirinya mencontohkan ketika dia masih menjadi Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS). Saat itu, dia mengutarakan untuk semua bahan peledak, dalam hal ini adalah amunisi aparat TNI, dapat dikontrol olehnya.
Kontrol yang dilakukan terbilang keras dan ketat, bahkan pengawasan itu mulai dari letak dan standar penyimpanan, siapa anggota yang memegang, hingga berapa jumlah amunisi yang dipegang, dan data lainnya yang memiliki catatan tersendiri. Memang tak dipungkiri peredaran bahan peledak sekarang ini sangatlah marak. Sehingga banyak pihak yang dengan bebas mengakses bahan ini.
Sementara itu, sejumlah pakar menyatakan radikalisme kini juga menyusupi hampir semua lini masyarakat. Mau pejabat, ASN, praktisi, akademisi, aparat keamanan, guru hingga pelajar rawan terdampak radikalisme ini. Paham radikal masuk mulai dari bahan pembelajaran, ekstrakulikuler hingga acara keagamaan. Namun, bukan tak mungkin menangkalnya. Pasalnya selalu ada jalan untuk menanggulangi masalah ini. Salah satunya ialah menumbuhkan sikap toleransi yang berasal dari diri sendiri. Tak perlu menuding orang, cukup introspeksi dan lakukan sepositif mungkin.
Kedua menanamkan dalam hati nurani serta perilaku yang mencerminkan Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika hingga NKRI. Optimisme untuk melawan radikalisme inipun harus makin diperkuat. Selain itu, sikap waspada akan lingkungan sekitar perlu ditingkatkan. Jika ada pihak-pihak yang mencurigakan, segera lapor kepada pihak yang berwenang. Pendidikan dari dalam keluarga juga dinilai cukup fundamental. Keluarga yang responsif akan perkembangan anggota lainnya akan turut mempengaruhi pola pikir, emosi serta tingkah laku.
Jika kesemuanya telah dilakukan secara baik dan sesuai, maka tak mungkin ada kesempatan bagi radikalisme untuk mencokot nurani. Pasalnya, kebanyakan orang-orang yang mudah direkrut ini memiliki tingkat emosi dan pola pikir yang masih labil. Ibaratnya, masih mencari jati diri. Seperti eksistensi yang ingin diakui, jiwa pahlawan yang meluap-luap seolah menjadi cara agar mereka dianggap ada dan dihormati. Maka, dari itu mari lawan dengan pasti radikalisme yang menggerogoti hati nurani!
)* Penulis adalah pengamat sosial politik