Mewaspadai Gerakan Radikalisme dan Intoleransi di Indonesia
Oleh : Angga Gumilar)*
Alarm akan adanya gerakan radikalisme di Indonesia masih berbunyi, termasuk ketika Indonesia sedang melakukan berbagai agenda politik yang kerap diiringi dengan meningkatnya intoleransi di Indonesia.
Sikap Intoleransi tentu bisa menjadi indikator penyebaran paham radikal, hal ini berdampak pada hilangnya rasa kemanusiaan atas nama kepentingan golongan.
Gerakan radikal memang bukan berita baru, keberadaannya sudah ada sejak lama di Indonesia, seperti pemberontakan DI TII maupun NII pada masa awal kemerdekaan NKRI.
Hal tersebut tentu menjadi bukti bahwa radikalisme dan terorisme telah menjadi ancaman nyata bagi kedamaian dan keutuhan NKRI, oleh karena itu radikalisme dan terorisme haruslah diberantas hingga ke akar-akarnya.
Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangn Terorisme (BNPT), Irjen (Purn) Ansyaad Mbai mengatakan, Virus paham radikal yang disebarkan oleh ISIS lebih berbahaya ketimbang virus corona yang saat ini sedang mewabah di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Pihaknya juga mendukung keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang tidak akan memulangkan ratusan mantan warga Negara Indonesia (WNI) bekas kombatan ISIS yang telah merobek paspor berlogo Garuda.
Ansyaad mengatakan, virus corona yang sedang merebak saat ini masih bisa terpantau angka korbannya. Sementara virus paham radikalisme yang disebarkan oleh ISIS, tidak jelas siapa korban yang sudah terpapar.
Awal Januari 2020, Ketua Forum Komunikasi Penyuluh Agama Islam (FKPAI) Sleman Unsul Jalis mengatakan, hampir 60 persen sekolah SMA di wilayah Sleman terpapar paham radikal.
Tidak hanya itu, guru-guru SMA ada sekitar 30 persen yang juga terpapar paham radikal, hal tersebut merupakan hasil kajian dari persebaran angket kepada seluruh SMA Negeri dan Swasta.
Penyebaran angket tersebut dilakukan untuk mengetahui sejauh mana siswa dan guru SMA di wilayah Sleman terpapr paham radikal. Pihaknya tidak hanya menyebarkan angket kepada SMA Negeri atau Swasta saja, tetapi juga menyasar MA.
Beberapa indikasi atau pertanyaan dalam angket yang ditanyakan, terutama terkait ulama-ulama yang selama ini menjadi panutan dalam beragama. Hasilnya, sebagian siswa dan guru menjawab dengan merujuk pada ulama-ulama radikal. Indikator lainnya adalah adanya pergeseran penyebutan OSIS menjadi Rohis. Hal tersebut sudah terjadi di beberapa sekolah.
Dirinya mengatakan, masuknya paham-paham radikal ke sekolah-sekolah tersebut bukan terjadi tiba-tiba tetapi sengaja dibawa. Ada gerakan agar paham ini masuk ke sekolah-sekolah. Kalau ada satu saja yang terpapar entah siswa atau guru, pasti mereka akan mengajak orang lain, oleh karena itu penyebaran paham radikal di sekolah memang sangat masif.
Jalis menambahkan, dalam keadaan seperti itu pendampingan atau penyuluhan bagi siswa-siswi yang sudah terpapar paham radikal memang dibutuhkan. Hanya saja, sampai saat ini para penyuluh agama masih belum bisa masuk ke ranah sekolah untuk memberikan pendampingan.
Persebaran paham radikal di Indonesia juga terjadi di sosial media, hal ini dikarenakan banyaknya orang Indonesia yang mengakses konten dakwah di internet dibandingkan dengan ulama dari kalangan organisasi moderat seperti NU atau Muhammadiyah.
Penggunaan media sosial juga membuat proses radikalisasi jauh lebih masif dan cepat. Dulunya anak usia belasan agar bisa memiliki peran signifikan dalam sebuah kelompok teror membutuhkan waktu yang tak singkat. Mereka yang tertarik ajaran-ajaran kekerasan belum tentu bertemu dengan kelompok yang sesuai.
Proses-proses diskusi di media sosial tersebut tentu tidak terlepas dari pantauan kelompok radikal. Mereka yang konsisten terlibat dalam diskusi akan diundang dalam grup yang lebih ekslusif melalui aplikasi WhatsApp atau Telegram.
Orang tua tentu memiliki peran penting dalam mengawasi anaknya ketika dirinya mulai asik dengan gawai. Jangan sampai generasi muda justru rentan terpapar paham radikal karena mencari sendiri referensi tentang ilmu agama.
Salah satu ciri dari konten dakwah yang menjurus pada radikalisme adalah konten yang terus menyalahkan pemerintah atau konten yang menganggap bahwa demokrasi itu tidak cocok di Indonesia.
Cara dakwah secara damai di masyarakat tentunya harus digelorakan. Sehingga tidak ada ketakutan dan kekerasan yang disampaikan. Pendekatan sopan santun dan lembut juga haruslah dikedepankan. Sehingga dalam upaya deradikalisasi tentu membutuhkan seluruh elemen, baik sekolah, pemerintah hingga lingkungan terkecil di keluarga.
)* Penulis adalah pengamat sosial politik