Mewaspadai Radikalisme Memapar Generasi Muda
Oleh : Raditya Rahman )*
Semua elemen masyarakat rentan terpengaruh paham radikal, tidak terkecuali generasi muda. Penyebaran paham anti Pancasila tersebut rentan menimbulkan konflik dengan masyarakat lainnya, bahkan memicu seseorang untuk melakukan kekerasan hingga aksi teror. Masyarakat dan Pemerintah harus bersinergi untuk menyikapi fenomena ini.
Anak muda atau generasi milenial termasuk salah salah satu golongan yang rentan terpapar radikalisme termasuk ekstrimisme dan terorisme. Hal ini dikarenakan pada usia antara 17-24 tahun tersebut, mereka masih sangat energik, dan masih memiliki semangat yang tinggi. Selain itu, mereka juga relatif belum memiliki tanggungan keluarga.
Catatan sejarah juga mengatakan demikian. Tercatat sebuah nama seperti Dani Dwi Permana, dalam saat berusia 18 tahun, dirinya telah meledakkan bom JW Marriot. Salah satu dampaknya adalah batalnya kunjungan Manchester United ke Indonesia.
Tentu hal ini patut menjadi atensi bagi kita semua, karena generasi mudalah yang kelak akan menjadi pemimpin di Indonesia, membiarkan anak muda terpapar radikalisme, tentu sama saja dengan membiarkan bom waktu di Indonesia.
Saat ini generasi milenial rentan terpapar paham radikal karena kebanyakan dari mereka adalah pengakses sosial media. Hal ini tentu saja menjadi katalis generasi tinggi yang terpapar radikalisme.
Diprediksi penyebaran radikalisme akan meningkat melalui jagat maya. Perkiraan ini dapat ditelaah dari meningkatnya durasi generasi milenial dalam bersosial media dengan laporan intelijen bahwa kasus radikalisme bermula dari media sosial. Dengan kata lain, di Indonesia, durasi bersosial media berbanding lurus dengan tingkat radikalisme pada generasi milenial.
Center for the prevention of radicalization (2018) menyebutkan bahwa dalam proses radikalisasi, orang mengadopsi sistem kepercayaan yang ekstrem termasuk keinginan untuk menggunakan, mendukung dan memfasilitasi kejahatan dengan tujuan untuk mempromosikan ideologi, proyek politik atau perubahan sosial.
Dalam kajian lainnya, seorang pengamat Timur Tengah sekaligus Guru Besar Hubungan Internasional di Universitas Padjajaran, Dina Y. Sulaeman menilai bahwa ketidakskeptisan dan ketidakcerdasan masyarakat dalam menanggapi konten di media sosial bisa berbuah radikalisme. Menurutnya, banyak warga negara Indonesia yang terframing oleh media sosial dan emosinya juga mudah tersulut.
Parahnya pasca terpapar terkait hoax di Suriah, mereka mengumpulkan uang untuk berangkat jihad. Namun sebenarnya mereka tidak sedang berjihad melainkan hanya menjadi korban. Padahal Jihad yang sesungguhnya bukanlah jihad dengan mengangkat senjata, tapi kesungguhan dalam beribadah dan terus menebarkan kebaikan bagi seluruh umat manusia.
Gerakan radikalisme didasari oleh adanya pandangan pancasila dan demokrasi adalah produk buatan manusia, sehingga tidak perlu ditaati. Satu – satunya yang harus dipatuhi adalah hukum – hukum yang diciptakan oleh Tuhan.
Di Indonesia salah satu faktor yang membuat paham radikal eksis dan berkembang antara lain melalui media sosial dan melalui jejaring.
Buku sejarah nusantara telah mencatatkan sejarah kelam yang terjadi. Konflik di berbagai wilayah yang mengatasnamakan suku dan agama, seperti konflik antara Islam dan Kristen di Poso, tentunya dapat menjadi pembelajaran bahwa siapapun tak ingin hidup di tengah ketegangan, desing peluru dan pedang yang berdarah.
Radikalisme tentu bukanlah salah satu ciri orang beragama, agama apapun tentu mengajarkan cinta kasih dan perdamaian, bukan perang, kebencian atau pembunuhan sesama manusia hanya karena menurut dirinya, mereka yang tidak sepaham adalah sesat dan kafir yang harus dibantai.
Jika dibiarkan, radikalisme akan menjadi wabah di Indonesia dan dapat berdampak pada ketidakstabilan keamanan nasional serta rusaknya rasa persatuan di Indonesia.
Dalam menangani kasus ini, tentu tidak serta merta hanya menjadi peran pemerintah dalam membumihanguskan radikalisme di Indonesia, melainkan peran dari lingkup keluarga juga diperlukan untuk memberikan edukasi yang baik terhadap anak-anaknya.
Radikalisme tentu dapat dicegah dari lingkup terkecil, literasi media sosial juga perlu digalakkan agar pengguna gawai baik tua ataupun muda tidak serta merta menelan informasi secara mentah – mentah.
Memang pemerintah juga sudah berusaha untuk membendung arus radikalisme dengan program deradikalisasi melalui media sosial walaupun diakui masih ada kebocoran sehingga tidak semua situs penyebar paham radikal dapat di take down oleh pemerintah.
Untuk menambal kebocoran tersebut, literasi media sosial utamanya yang berkaitan dengan radikalisme tentu perlu dikembangkan secara mandiri dengan bimbingan para ahli agar tidak salah paham. Selain itu, kita semua memiliki peran agar generasi milenial semakin sibuk dengan karya positif agar terhindar dari paparan konten radikal.
)* Penulis adalah pengamat sosial politik